Kepadatan penduduk semakin meningkat di beberapa kota di Indonesia terutama Jakarta. Sebagai kota besar dan ibu kota Negara, Jakarta banyak menarik pendatang dari berbagai daerah. Karena masyarakat melihat Jakarta merupakan pusat pemerintahan, pusat bisnis dan keuangan.
Menurut Wikipedia, ibu kota memiliki arti kota utama di sebuah Negara atau daerah meskipun kota ini belum tentu yang paling besar. Di kota ini biasanya terdapat gedung gedung pemerintahan pusat atau daerah dan sebuah dewan perwakilan rakyat yang seringkali disebut parlemen serta kantor-kantor pusat perusahaan-perusahaan komersial.
Mengacu pada definisi di atas, tidak mengherankan jika banyak warga dari seluruh penjuru daerah yang ada di Indonesia kemudian berbondong-bondong untuk mengadu nasib di Jakarta dengan harapan kelak mereka akan menjadi orang sukses. Namun, tingkat urbanisasi yang sampai saat ini tidak bisa dibendung tersebut bisa menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah daerah DKI. Salah satunya adalah masalah tempat tinggal, selain masalah macet dan masalah polusi.
Berdasarkan data yang saya peroleh dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk Kota Jakarta saat ini sudah mencapai 12,7 juta orang pada siang hari dan 9,9 juta orang pada malam hari. Angka yang sangat fantastis dan bisa menjadi bom waktu jika dibiarkan.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk di ibu kota tersebut, tentu saja harus disikapi oleh Pemerintah daerah Jakarta dengan cara arif dan bijak tanpa mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satunya adalah mendirikan apartemen dengan harga miring dan rumah susun milik (Rusunami). Hal ini bertujuan agar masyarakat kelas menengah keatas dan kelas menengah kebawah bisa hidup tenang, nyaman dan tentram di ibu kota serta meminimalisir semrawutnya tata ruang yang ada di Jakarta. Selain semrawut, dampak dibangunnya Apartemen Harga Miring dan Rusunami adalah menghilangnya perumahan kumuh yang selama ini identik dengan Jakarta dan menempati lahan-lahan yang tidak seharusnya mereka tempati.
Bahkan menurut Walhi, Jakarta diperkirakan pada tahun 2030 Jakarta akan tenggelam secara permanen jika masyarakat dan pemerintah daerah Jakarta tidak menghiraukan masalah ini. Salah satu penyebab tenggelamnya Jakarta tersebut tidak lain dan tidak bukan karena masyarakat menempati lahan-lahan yang seharusnya tidak ditempati.
Apa yang disampaikan oleh Walhi diatas seharusnya sesegera mungkin direspon oleh pemerintah daerah Jakarta, guna mencegah bahaya yang lebih besar. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati.
Sekiranya demikian yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat buat khalayak umum khususnya masyarakat Jakarta agar lebih memikirkan kepentingan bersama dari pada kepentingan diri sendiri demi masa depan ibu kota. Trim’s
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H