Lihat ke Halaman Asli

Bank Kurang Likuid, Apakah Harus Menjadi Beban Bank Indonesia?

Diperbarui: 21 Februari 2017   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksi tahun depan likuiditas perbankan sedikit mengetat. Hal ini terlihat dari kompilasi rancangan bisnis bank (RBB) pada 2017 yang diserahkan bankir ke OJK. Berdasarkan RBB tahun depan, bankir memproyeksi rasio kredit terhadap simpanan atau Lending Deposit Rate (LDR) akan berada di angka 94,18% atau sedikit lebih ketat jika dibandingkan dengan proyeksi LDR akhir 2016 dari OJK sebesar 93,09% (Kotan.com, 01/01).

Pengertian bank secara umum, “Institutions that engage in two distinct types of activities, one on each side of the balance sheet—deposit-taking and lending.” Anil K. Kashyap, Raghuram Rajan, da Jeremy C. Stein,2002). Dilihat dari pembukuan bank, akun yang memperlihatkan bank terkait dengan deposit-taking atau Dana Pihak Ketiga (DPK), masuk kedalam bagian Hutang. Sementara lending atau Kredit Yang Diberikan (KYD) masuk kedalam bagian Harta. LDR yang tinggi menunjukkan jumlah KYD yang disediakan bank terhadap nasabah mendekati DPK. Hal ini tidak menjadi permasalahan asalkan masyarakat tidak terkena isu negatif  sehingga nasabah bank menarik depositnya serentak.

Mempertahankan Likuiditas Bank Melalui Penjualan Jaminan

Produk bank adalah uang. Semakin besar uang dimiliki semakin besar pinjaman yang dapat ditawarkan. Dalam mengurangi kekurangan likuiditas, bank harus selalu menjaga KYD kepada nasabahnya. Untuk mengurangi risiko gagal bayar dari nasabahnya, bank harus memiliki jaminan yang likuid. Jaminan yang dapat dicairkan ke dalam bentuk uang dengan segera. Kemungkinan nasabah yang tak mampu melunasi pinjaman ada. Permasalahannya, seberapa cepat bank dapat mengeksekusi jaminan. Bayangkan bank yang mengandalkan waktu untuk mendapatkan keuntungan bunga harus tertunda pengembalian pinjamannya. Ia tidak hanya merugi bunga, pokoknya pun tak dapat dipergunakan. Bank harus memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengatasi perkara jaminannya di pengadilan agar ia tidak kehilangan waktu. Proses di pengadilan ini yang sulit dipangkas waktunya. Meskipun bank memiliki hak untuk menjual.

Ketika tabungan ditarik dalam jumlah besar dan deposit yang jatuh tempo dicairkan, maka bank harus mampu membayarnya dalam bentuk kas. Padahal DPK telah digunakan oleh bank sebagai KYD. Penggunaan produk deposit bank akan mengurangi risiko KYD bank ke nasabah, “these liquidity risks are off-setting rather than reinforcing, meaning that combining deposits and commitment lending provide a liquidity-risk hedge for bank.” (Evan Gatev, Til Schuermann, Philip E. Strahan, 2005) Jumlah uang yang disalurkan untuk KYD dapat diganti oleh DPK, asalkan pencairan deposito tidak dikuti oleh permintaan KYD secara bersamaan. Pentingnya bank memperlancar nasabah menanamkan uangnya dalam DPK, khususnya deposito akan mengurangi risiko KYD.

Perlidungan Sisa DPK Yang Tidak Dijamin

Pendapatan rata-rata per kapita rakyat Indonesia tidak besar. Walhasil uang yang ditabung juga kecil. Bank berdasarkan fungsinya terdiri dari Bank Sentral, Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). BPR lebih dapat meraup pendapatan yang kecil secara efisien, karena ia menyalurkan pinjamannya dalam jumlah kecil. Hal ini akan lebih mudah menutupi kegagalan nasabah membayar pinjaman, karena opsi pinjaman lainnya cukup banyak yang berkualitas yang dapat melindunginya.

Lain halnya bank besar yang membutuhkan dana besar karenanya ia menyalurkan pinjamannya ke nasabah yang membutuhkan dana besar. Hal ini untuk mengurangi kerja yang terlalu banyak sehingga biaya dibutuhkannya bertambah besar. Betapa mengerikan, ketika bank besar harus menyiapkan cadangan karena banyak nasabah yang masuk kategori "bad debt". Bank akan mengalami pendarahan yang tak mudah disembuhkan. Modal bank akan tergerus dengan cepat, karenanya pencadangan modal digunakan untuk menutupi KYD yang tidak dapat dilunasi. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi lembaga penting untuk menjaga kepercayaan nasabah dalam menyimpan uangnya di bank. LPS menjamin nasabah bank dalam jumlah tertentu dan telah  mengikuti aturan tingkat bunga Bank Indonesia (BI). Namun sisa DPK yang tidak termasuk dalam program penjaminan akan dibayarkan dari penjualan aset kredit.  

Apabila dikaitkan dengan pendapatan per kapita yang kecil dari masyarakat, maka tabungan yang memiliki jangka waktu secara acak (random) akan lebih besar peminatnya dibandingkan dengan deposito.  Benar dikatakan Andrew Ross Sorkin dalam novel non fiksinya, bahwa bank besar perlu dilindungi, "it is too big to fail", karena DPK dan KYD yang besar dan keterkaitan dengan bank-bank lain yang ikut mendanai proyek nasabahnya. Bila bank tersebut ditutup, maka bank akan mengalami kegagalan pengembalian DPK. Nantinya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap bank timbul akan membawa efek domino yang menjatuhkan bank lain yang terkait.

Intinya, bank dalam mempertahankan likuiditasnya akan mengandalkan deposito dengan bunga yang menarik, bila tidak risiko kekurangan likuiditas dalam bank  akan menjadi tanggungjawab negara, khususnya Bank Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline