Lihat ke Halaman Asli

Reformasi Hukum dan Moral

Diperbarui: 22 Oktober 2016   00:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini istilah “reformasi” menjadi topik hangat di media masa karena pemerintah sedang mengkaji paket kebijakan reformasi hukum. Pemerintah mengambil pengertian reformasi sebagai perbaikan hukum positif. Reformasi memiliki pengertian yang berbeda dari perbaikan hukum positif. Reformasi memiliki pengertian pemisahan hukum sebagai aturan yang dibuat oleh pemerintah dan moral agama berdasarkan kitabnya, bukan manusia yang melaksanakannya.

Kata reformasi berasal dari bahasa latin, yakni reformatio. Di dalam bahasa inggris, padanan katanya adalah restoration, renewal. Sementara kata reformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Pengertian   reformasi yang dimaksud terjadi pada abad ke-16 di Eropa. Saat itu  gereja katolik Roma memiliki kekuasaan untuk memberi pengampunan (spritual privilege) terhadap individu yang bersalah. Reformasi telah mengubah perilaku korupsi yang diakibatkan penyalahgunaan  kewenangan pengampunan tersebut. Inti dari reformasi adalah membersihkan dan mengembalikan gereja kepada fungsinya bahwa injil, bukan tradisi diri pribadi yang suci, yang menjadi sumber kewenangannya.  Namun pengertian kata reformasi dapat digunakan dalam reformasi hukum. Hukum yang dipisahkan anatara hukum yang dibuat oleh negara dan moral yang menjadi kewenangan agama.

Dalam filsafat hukum, hukum dibedakan dari natural law dan positive law. Moral yang berasal dari Tuhan dan hukum yang dibuat oleh pemerintah yang pelaksanaannya dipaksakan melalui institusi negara. Pemikiran John Austin, Hans Kelsen, HLA Hart, memisahkan moral dan hukum.  Penggunaan reformasi hukum akan memiliki pengertian pemisahan hukum positif  dan moral di masyarakat. Pemisahan ini bertujuan untuk mengembalikan "hukum murni" yang tidak terkait dengan moral. Faktanya, Moral dibutuhkan oleh penegak hukum pribadi dalam memutus perkara di pengadilan. Tepatnya, paket kebijakan reformasi hukum seharusnya lebih menekankan kepada pemisahan hukum positif dan moral. Sesuai dengan pemikiram Hans Kelsen yang memisahkan hukum dan moral  sebagai pemurnian hukum. Adapun kewenangan hukum timbul dari hirakhi hukum. Di dalam pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat hirarkhi hukum. Sebagai contoh hirarkhi, Undang-Undang tidak dapat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.  Hal ini menunjukkan sistem hukum Indonesia menggunakan teori Hans Kelsen yang menganut legal positivism

Hukum mengikuti keadaan di masyarakat sesuai dengan jamannya.  Bila pengertian reformasi sama dengan pembenahan hukum positif, maka pengertian katanya harus diperluas. Kata reformasi tidak mencakup permasalahan hukum positif belaka, akan tetapi juga termasuk moral. Para hakim di pengadilan akan memiliki fungsi sebagai penguasa yang dapat memaksakan kehendaknya dan penguasa yang memberikan pengampunan berdasarkan moral. Hakim memiliki asas diskresi berdasarkan moral. Ini sistem hukum yang berlaku di dalam sistem common law, bukan civil law. Indonesia memiliki sistem civil law yang bersandar pada hukum positif belaka.

Di Indonesia, perbaikan moral menjadi tugas para pemuka agama. Pemuka agama dan peran aktif masyarakat dalam mengubah moral yang berasal dari diri pribadi. Reformasi yang mengubah moral tidak berasal dari kekuasaan negara yang dapat dipaksakan. Reformasi moral lebih menekankan kepada penerapan ajaran agama yang tidak mencampuradukkannya dengan kekuasaan negara.     

Mungkin saja pemerintah ingin menekankan gaya bahasa hiperbola terhadap efek kata reformasi yang akan ditimbulkannya dalam perbaikan hukum. Namun tujuan dari paket kebijakan reformasi hukum harus memberikan kepastian arah hukum yang tepat kepada masyarakat. Selama ini justru moral penegak hukum yang bermasalah. Mereka memisahkan hukum dan moral. Hakim yang taat beragama, akan tetapi ia menyimpangkan putusan di pengadilan. Reformasi hukum yang dicanangkan oleh pemerintah harus diubah menjadi perbaikan hukum dan moral. Perbaikan hukum akan membutuhkan para ahli hukum. Perbaikan  moral akan membutuhkan peran dari para tokoh agama di masyarakat. 

Dengan kata lain, reformasi hukum tidak dapat menggunakan kekuasaan negara belaka, akan tetapi pemerintah juga memerlukan perbaikan moral yang dapat dimengerti.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline