Hujan turun, rintiknya sedikit rapuh dengan warna abu abu.
Di antara kita, ada jeda panjang.
Sudah setengah jam, hanya saling diam.
"Di kepala saya ada jam dinding yang sekarat menunggu waktu," kalimat itu terucap begitu saja, saat tampias hujan merelakan dirinya jatuh tepat di kepalamu, seperti dulu saya yang merelakan hati jatuh tepat di punggungmu.
Kenangan saya terlempar ke 2 tahun silam. Saat pertama kali saya melihat punggungmu. Di sana saya meletakkan harapan.
Harapan memang tak selalu berujung dengan kenyataan, kadang lebih membuahkan kekecewaan.
Tapi punggungmu waktu itu, terlalu menawarkan saya untuk menumpuk harapan dan kepercayaan
"Saya lelah," akhirnya kau mulai bicara, meski hanya dua kata.
Mendadak muncul banyak pertanyaan di kepala saya.
Lelah yang seperti apa? Lelah akan apa? Lelah dimana? Lelah untuk siapa?
Semuanya hanya saya tahan di ujung lidah. Tak ingin saya ucapkan.
Karena terkadang, diam lebih menjelaskan segalanya dari ucapan dengan ribuan kata.
"Hujannya reda," saya membelokkan topik pembicaraan.
Dulu, kita selalu senang saat berbincang tentang hujan, kan.
Hujan bagi kita, seperti lembaran buku cerita yang tak pernah habis kita baca.
"Tentang itu, saya sudah mengubur jam dinding yang ada di kepala saya. Karena sudah terlalu lama sekarat sementara kematian yang tak pernah datang," kau berbicara pelan, menjawab kalimat yang beberapa menit lalu saya ucapkan. Kalimat pernyataan untuk cinta yang memang tak bisa kita selamatkan.
Hujan kembali turun. Deras. Kali ini rintiknya menempa tanah tanpa ragu.
Dan kita saling membuka payung. Lalu melangkah ke jalan masing masing.
Jalan yang kita percaya tak ada lagi nyeri, luka dan kecewa.
Meski kita sama sama tahu, jalan itu tak akan pernah ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI