Kesepian, mungkin seperti pasar malam yang tiba-tiba di guyur hujan; tak seorangpun yang datang. Sedang saya terlanjur datang sedari awal, terlalu berharap akan kesenangan yang ditawarkan. Lupa membawa payung, dan harus rela terguyur rasa murung dari hujan yang turun.
Saya lalu bergegas mencari warung kopi untuk menepi. Sepi dan kopi, dua hal yang di takdirkan untuk saling mengisi. Karena sebiji kopi dulu diciptakan Tuhan dari saripati sepi. Itulah mengapa, kesepian selalu larut dalam secangkir kopi dan secangkir kopi selalu berhasil memeriahkan sepi.
Kopi yang selalu saya pesan; kopi hitam tanpa gula. Menurut saya, kopi yang dicampur dengan pemanis seperti menipu hidup. Palsu! Rasa kopi memang seharusnya pahit kan? menyesap pahitnya kopi seperti meresapi makna sepi yang memang sengaja Tuhan sisipkan.
Disecangkir kopi kali ini, saya bisa menyesap tangisan pasar malam karena kesepian terguyur hujan. Juga menyesap kesepian saya sendiri karena gagal mendapatkan kesenangan yang saya harapkan dari kemeriahan pasar malam. Kekecewaan, kepahitan memang sering diawali dengan harapan. Tapi hidup tanpa harapan hanya membuat kita seperti mayat yang berjalan. Tak ada pegangan dan tujuan.
Pasar malam dan sepi, dua hal yang tak pernah ditakdirkan. Tapi malam ini, pasar malam dan sepi berbaur jadi satu dalam secangkir kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H