Lihat ke Halaman Asli

CHANDRANINGRUM THREE ANGELIA

Mahasiswa Program Studi S1 Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi

Diskriminasi Terselubung : Hambatan Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas diRuangPublik

Diperbarui: 22 Desember 2024   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Chandraningrum Three Angelia

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran No. 10-11, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145

ABSTRAK

Penyandang disabilitas menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses ruang publik, meskipun telah ada regulasi yang mendukung inklusivitas. Hambatan ini sering kali tidak terlihat secara langsung, namun mencerminkan diskriminasi terselubung yang menghalangi partisipasi sosial mereka. Artikel ini menganalisis hambatan aksesibilitas yang meliputi aspek fisik, sosial, dan struktural, serta membahas solusi potensial seperti peningkatan infrastruktur, edukasi masyarakat, dan pengawasan implementasi kebijakan. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan ruang publik dapat menjadi lebih inklusif, memungkinkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial.

PENDAHULUAN

Penyandang disabilitas seringkali menghadapi hambatan yang signifikan dalam mengakses ruang publik, meskipun ada peraturan dan kebijakan yang bertujuan untuk mendukung inklusivitas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, misalnya, telah menetapkan kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk menyediakan aksesibilitas yang layak bagi penyandang disabilitas. Namun, pada kenyataannya, implementasi peraturan ini masih jauh dari optimal. Diskriminasi yang dihadapi penyandang disabilitas tidak selalu bersifat eksplisit, melainkan sering terselubung dalam bentuk infrastruktur yang tidak ramah disabilitas, sikap masyarakat yang diskriminatif, serta kebijakan yang kurang efektif. Hambatan ini dapat berupa fisik, seperti ketiadaan fasilitas yang memadai; sosial, dalam bentuk stereotip negatif; dan struktural, yang mencakup kurangnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan. Hambatan-hambatan tersebut membatasi partisipasi penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.

Hambatan aksesibilitas di ruang publik dapat berdampak luas pada kehidupan penyandang disabilitas, mulai dari terbatasnya mobilitas hingga kesulitan dalam mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Kondisi ini menciptakan lingkaran kemiskinan dan marginalisasi yang sulit diputus. Dalam beberapa studi, ditemukan bahwa penyandang disabilitas lebih mungkin mengalami pengangguran dan kemiskinan dibandingkan dengan populasi umum (Hartono, 2020; Yulianto, 2022).

Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya inklusivitas memperparah situasi ini. Misalnya, banyak fasilitas umum yang dibangun tanpa mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas, seperti trotoar tanpa ramp, jalur untuk kursi roda yang terhalang parkir liar, atau transportasi umum yang tidak dilengkapi fasilitas pendukung. Hambatan ini mencerminkan diskriminasi terselubung yang belum sepenuhnya diatasi, meskipun inklusivitas telah menjadi agenda penting di tingkat nasional maupun internasional.

Dalam artikel ini, fenomena diskriminasi terselubung terhadap penyandang disabilitas di ruang publik akan dianalisis lebih lanjut. Fokus pembahasan mencakup hambatan fisik, sosial, dan struktural yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta solusi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusivitas di ruang publik. Dengan memahami tantangan yang ada, diharapkan berbagai pihak dapat bekerja sama untuk menciptakan ruang publik yang lebih inklusif dan ramah disabilitas.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk menggali secara mendalam hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam mengakses ruang publik. Tiga metode utama digunakan dalam pengumpulan data, yaitu tinjauan literatur, observasi lapangan, dan wawancara semi-terstruktur. Tinjauan literatur dilakukan dengan menganalisis artikel ilmiah, laporan pemerintah, dan dokumen hukum yang relevan. Fokus utama adalah pada kebijakan aksesibilitas, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, dan hasil penelitian sebelumnya yang membahas isu terkait. Observasi dilakukan pada fasilitas umum di wilayah perkotaan, seperti trotoar, stasiun transportasi, dan gedung layanan publik. Observasi ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi infrastruktur, seperti keberadaan ramp, lift, dan jalur khusus. Temuan ini dicatat secara rinci untuk membandingkan antara regulasi yang ada dan realitas di lapangan. Wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan tiga kelompok responden yaitu penyandang disabilitas, pengelola fasilitas publik, dan organisasi yang fokus pada isu disabilitas. Penyandang disabilitas memberikan perspektif langsung tentang hambatan yang mereka alami, sementara pengelola fasilitas dan organisasi memberikan wawasan tentang upaya yang telah dilakukan serta tantangan yang ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline