Tentu kita semua masih akrab dengan kasus penyedotan pulsa. Posko keliling Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma) mencatat pada Jumat (14/10/2011), ada 2.500 pengaduan warga masyarakat yang telah menjadi korban pencurian pulsa. Korban tidak hanya berasal dari Jakarta. Dapat dipastikan korban pencurian pulsa lebih banyak daripada yang melapor.
Menurut Ketua Umum Lisuma, Al-Akbar Rahmadillah, kebanyakan dari korban takut melapor kepada polisi. Penyebabnya, mereka tidak mau bernasib seperti Feri Kuntoro yang malah dilaporkan balik oleh penyedia konten (content provider).
Ditambahkan Akbar, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) belum bekerja secara maksimal dalam mengawasi operator dan content provider di Indonesia. Dia mendesak pemerintah untuk segera mangambil langkah tegas dan memproses laporan ini ke jalur hukum.
Dalam kasus ini, operator telekomunikasi seharusnya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus pencurian pulsa pada layanan SMS premium, bukannya content provider.
"Ini aneh. Operator yang menguasai billing system, yang memiliki pelanggan, dan memiliki mekanisme layanan, kenapa hanya CP yang harus bertanggung jawab?" Menurut pengamat telekomunikasi dan Asosiasi Warnet Indonesia Judith MS Lubis,lanjutnya, "Pengiriman pesan, iklan, dan pop screen juga pasti di bawah kendali operator telekomunikasi. BRTI jangan berat sebelah dengan mematikan industri kecil saja."
Apakah operator tahu atau pura-pura tidak tahu dengan peristiwa ini?
"Katanya, besok Kemenkominfo akan memanggil Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan 10 operator. Saya harap Kemenkominfo akan mengecek apakah operator tahu, tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dengan layanan content provider (CP) yang nakal," kata anggota Komisi I DPR Roy Sukro, pada Rabu (26/10/2011).
Hasil pertemuan yang dilakukan antara Kominfo, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan operator pun selama ini dapat dikatakan tidak membuahkan hasil yg signifikan terhadap penyelesaian masalah ini. Hal ini disebabkan karena pertemuannya hanya bersifat koordinasi.
Menkominfo Tifatul Sembiring mengatakan dari koordinasi yang telah dilakukan bersama BRTI dan operator telekomunikasi diperkirakan total potensi kerugian yang dialami pelanggan cukup besar, tetapi masih di bawah 10% dari proyeksi revenue bisnis konten premium sekitar Rp1 triliun.
Sejauh ini Kemenkominfo menyatakan hanya akan mendesak operator telekomunikasi untuk melakukan pengembalian pulsa (restitusi) kepada pelanggan yang mengalami kasus penipuan dan pencurian pulsa secara paksa dari layanan konten/pesan singkat (SMS) premium. Akan tetapi tidak fokus pada pengungkapan oknum yang paling bertanggung jawab terhadap kasus ini.
Hal ini terjadi mungkin juga karena oknum Utama dalam kasus ini adalah BRTI sendiri sebagai badan yang mengontrol telekomunikasi di Indonesia atau juga operator sendiri sebagai pihak penyelenggara. Padahal dari kasus pencurian pulsa melalui sms premium, operator mendapat keuntungan 50%, penyedia konten (content provider) 25%, dan pemilik konten 25% jika ada, sedangkan jika tidak ada maka keuntungan dibagi dua antara operator dan content provider, yaitu 60:40 atau 70:30.
Jadi kesimpulannya tidak mungkin operator tidak tahu tentang kasus penyedotan pulsa. Akan tetapi kenapa hanya content provider yang disalahkan dalam kasus ini? BRTI juga pasti tahu bahwa yang paling diuntungkan dan bertanggungjawab tentang kasus penyedotan pulsa ini adalah operator. Akan tetapi kenapa hanya pihak content provider yang disalahkan dan pihak operator tidak. Maka benarkah ada main mata antara BRTI dan operator seluler?