Pencitraan telah menjadi suatu aktifitas andalan dalam menggiring opini terlebih pada tahun-tahun terakhir. Banyak tokoh politik yang menjalankan pencitraan agar dapat terpilih sebagai kepala daerah atau terdakwa terutama kasus korupsi yang berusaha mencitrakan diri menjadi karakteristik tertentu untuk memperoleh simpati. Pencitraan ini diharapkan menggiring opini dalam bentuk keterpilihan menjadi kepala daerah ataupun membentuk legitimasi agar aparat penegak hukum tidak lagi fair dalam menentukan keputusan pengadilan. Sah-sah saja jika seseorang berusaha mencitrakan diri menjadi karakteristik tertentu.
Hal ini menjadi masalah ketika akhirnya dunia yang kita hadapi tidak lebih dari kumpulan citra yang menyelubungi keadaan sebenarnya. Banyak orang akan dibingungkan karena tidak lagi dapat menetukan hal mana yang sesungguhnya baik dan benar. Seorang kepala daerah yang dicitrakan idealis, inklusif, berpendirian tangguh, mencintai rakyat ternyata tidak lebih dari seorang tokoh “busuk” yang dibungkus menarik bak seorang Robin Hood. Seorang terdakwa korupsi dengan muka memelas dan berbagai argumentasi yang “dilogis-logiskan” akhirnya membuat masyarakat iba dan terkadangseperti dapat “memahami” tindakan korupsi tersebut. Berdasarkan hal ini aparat hukum bisa saja seolah mendapat legitimasi untuk membuat keputusan yang menguntungkan si terdakwa. Dengan tidak punya pretensi untuk memberikan penilaian benar dan salah atas masalah yang saya jadikan contoh, bukankan kasus Pak Susno terlihat merupakan pencitraan dari tokoh yang dihujat sewaktu rekaman pembicaraan dengan Anggodo diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK) namun sekarang dicitrakan sebagai pahlawan pembela kebenaran, atau jangan-jangan sidang di MK itulah yang merupakan kegiatan pencitraan agar tercitra Pak Susno seorang penjahat? Bukankah kita yang awam ini menjadi bingung yang mana yang benar?
Kemungkinan seseorang benar-benar penjahat atau pahlawan menjadi kebenaran yang sangat absurd. Mengapa saya tergerak untuk menuliskan ini pada saat ini, karena saya ‘tertawa’ melihat sekelompok anak remaja melakukan “demonstrasi keprihatinan” di mabes polri untuk mendukung tokoh mereka yaitu Ariel Peterpen. Ulasan saya sungguh tak bermaksud melihat kebenaran kasus. Yang saya geli adalah diantara mereka ada yang sampai menangis. Benarkah demikian, apakah Ariel pantas ditangisi? Pernahkah anak-anak ini menangis untuk melihat kesusahan orang tua mereka dalam membesarkan mereka? Apakah pantas Ariel ditangisi seperti itu? Atau apakah ini juga hanya PENCITRAAN. Hal ini terindikasi dari hal yang bagi saya sangat menggelikan, kenapa ya remaja-remaja tanggung ini bisa berdemonstrasi dengan baju seragam? Apakah mereka bisa melakukan manajemen demostrasi serapih itu? Kalau memang mampu, mereka jauh lebih hebat dari mahasiswa dalam berdemostrasi. Saya benar-benar kwatir ini pencitraan yang terencana.
Efeknya bagi orang yang berpikir kritis sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi bagi anak-anak yang cenderung hanya melihat tokoh secara hitam-putih, hal ini sangat berbahaya. Mereka hanya tahu tokoh mereka adalah tokoh baik atau tokoh jahat. Upaya penggalangan opini untuk pencitraan agar terlihat baik akan membuat anak-anak secara tidak sadar melegitimasi semua perbuatan tokoh tadi adalah baik atau minimal tidak salah. Jika dugaan saya ada aktor yang merancang pencitraan tersebut adalah benar, maka hal ini sangat berbahaya. Kalau dia hanya bertujuan mengurangi hukuman bagi Ariel saya tak ambil pusing, karena dampak itu jauh lebih kecil dari akibat lain yaitu dia dijadikan idola oleh anak-anak. Bayangkan seorang remaja tanggung berkesimpulan dan menyatakan pada pacarnya “Ah, kang Ariel aja yang begitu terkenal, ramah, sopan, dan terlihat bijaksana melakukan itu kok, ini biasa aja, Cuma kita harus lebih hati-hati aja supaya nggak tersebar”, lalu diamini sang pacar dengan menyatakan “iya ya”. Apakah ini mungkin terjadi? Sangat mungkin. Ketika seseorang dijadikan tokoh maka sangat terbuka kemungkinan semua tindak-tanduknya diikuti baik benar maupun salah karena kebenaran dan kesalahan sang tokoh telah menjadi abu-abu, terlebih bagi remaja yang belum berpikir secara komprehensif. Bagi setiap remaja yang berkesempatan membaca artikel ini, saya hanya bilang tindakan mereka yang ada di dalam video dan penyebarannya benar-benar salah, walau mereka mungkin adalah idola anda, mereka tetap salah.
Oleh karena itu, saya meminta atau katakanlah berharap agar orang-orang yang terlibat dalam proses ini lebih bertanggung jawab. Mari kita lokalisasi masalah sekecil mungkin. Kita jadikan Ariel manusia biasa yang kedapatan bersalah dan harus diadili. Jangan berusaha membentuk opini agar tercitra baik, sungguh berbahaya. Biarkan masalah ini berjalan murni sebagai masalah hukum, Jika ketiganya terbukti benar melakukannya, sebaiknya setiap orang yang dirugikan harus mengadukan agar menjadi pelajaran yang baik, misalnya jika ada suami atau istri yang dihianati, ajukan tuntutan. Jika tidak, hal ini juga menjadi preseden buruk. Berhentilah membentuk pencitraan agar terlihat baik di ruang publik, beragumentasilah dengan polisi dan jaksa di Berita Acara Pemeriksaan (BAP), jangan di ruang publik, disini banyak anak-anak dan remaja yang belum mampu menganalisis dengan baik. Dunia ini akan jauh lebih baik jika selubung pencitraan tidak ada atau katakanlah tidak tebal-tebal amat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H