Oleh; SUPRIYO "Yok's Aksamala Kalachakra"
Tulisan berikut merupakan ringkasan sementara dari hasil penelusuran penulis terhadap situs dan prasasti yang ada di Kabupaten Lamongan selama 3 tahun terakhir.
Pendahuluan
Keberadaan Lamongan dalam panggung sejarah sangatlah menarik. Dengan letak geografisyang menguntungkan sebagai daerah agraris, yakni keadaan tanah yang subur berupa perbukitan kapur, dataran rendah, rawa-rawa, serta dua sungai (sungai Bengawan Solo dan sungai Lamong) menjadikan wilayah ini tetap eksis tampil dalam panggung sejarah Jawa Timur. Disamping itu Lamongan juga memiliki pantai utara jawa yang merupakan tempat berkembangnya pelabuhan-pelabuhan kuno seperti Sedayu Lawas. Hal ini yang menyebabkan daerah Lamongan memiliki banyak benda cagar budaya dari kurun waktu yang berbeda.
Letak dan keadaan geografis Lamongan yang sangat menarik tentu saja merupakan satu alasan mengapa pada masa lalu Lamongan merupakan suatu wilayah penting dalam perjalanan sejarah di Jawa Timur. Hal ini bisa dilihat dari persebaran benda cagar budaya dalam jumlah banyak yang tersebar di wilayah Lamongan. Keberadaan benda cagar budaya tersebut berkaitan erat dengan sejarah Kabupaten Lamongan.
Besar kemungkinan daerah Lamongan dihuni oleh manusia prasejarah adalah dengan ditemukannya benda-benda kuno berupa kapak corang, candrasa, dan gelang-gelang (perhiasan) kuno di sekitar Desa Mantup Kecamatan Mantup. Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa wilayah Lamongan telah dihuni manusia pada era prasejarah adalah ditemukannya fosil manusia, manik-manik, lempengan emas, kalung-kalung emas, benda-benda besi, gerabah, tulang binatang dan lain-lain yang juga terdapat di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring.
Masa klasik di wilayah Lamongan bisa ditarik garis mundur dari masa pemerintahan Airlangga bahkan mungkin jauh sebelum itu. Namun pembuktian secara artefaktual baru bisa memastikan bahwa masa klasik Lamongan dimulai pada masa Airlanggadengan didukung berbagai penemuan prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga atau pejabat tingginya. Ada sekitar 33 buah prasasti yang dikeluarkan dan sebagian besar ditemukan di wilayah Lamongan. Walaupun ada sebagian bukti arkeologis tersebut yang sudah tidak terbaca dan kondisinya tidak utuh sebagamana mestinya. Ditengarai juga masih banyak jejak-jejak terpendam yang masih belum terungkap hingga saat ini. Dan upaya pengungkapan terhadap peradaban masa lalu yang masih terpendam saat ini, adalah pekerjaan ekstra yang sangat melelahkan dan jauh dari keramaian.
Pada masa klasik, daerah sepanjang alur kali Lamong pada abad ke XI merupakan jalur penting dalam dunia perdagangan dan pemerintahan pada saat itu. Tanah shima semacam pamotan, patakan, lawan, drujugurit, hingga biluluk, mendapat tempat istimewa pada era kerajaan kuno. Daerah-daerah ini pada zaman pemerintahan Raja Airlangga sudah berkembang pesat ditandai dengan jajaran prasasti yang menetapkan tanah-tanah shima karena jasa perorangan maupun penduduknya selama masa konsolidasi pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintahan Raja Airlangga. Wilayah dari sekitar Mantup, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Modo, Babat, hingga ke wilayah pesisir utara adalah jejak-jejak peradaban kuno yang Berjaya pada zamannya.
Bukan hanya temuan pada masa perundagian dan era kerajaan Airlangga, temuan lain yang terkait dengan sejarah pada zaman peradaban Majapahit juga banyak ditemui di Lamongan. Hanya saja selama ini masih minim publikasi. Kajian-kajian terhadap keberadaan prasasti dan situs-situs kuno di Lamongan masih sangat jarang dilakukan, bahkan oleh mereka yang berada di bidangnya. Tidak heran jika kemudian pengetahuan masyarakat terkait dengan keberadaan cagar budaya yang harusnya dilindungi justru luput dari pantauan.
Dengan dalih melindungi atau bahkan melestarikan, disana-sini justru banyak terjadi perusakan dan pencurian benda cagar budaya. Mulai dari motif yang sederhana seperti butuh batu bata untuk membangun rumah hingga yang mencuri prasasti dan arca dengan alasan ekonomi dan koleksi. Motif kepercayaan sedikit banyak juga mempengaruhi terjadinya kerusakan cagar budaya ini. Dan semua terjadi karena masih lemahnya pengetahuan akan kesejarahan dan lemahnya jati diri yang ditandai dengan rendahnya kesadaran untuk melindungi hasil kebudayaan leluhur.
Pengetahuan tidak semata-mata untuk melakukan produksi sosial, tapi juga lebih penting adalah membentuk fondasi bagi terbentuknya tatanan sosial yang lebih baik. Tatanan sosial yang berkarakter akan melahirkan sebuah masyarakat yang kuat dan bermartabat, serta kokoh dalam menghadapi pengaruh negatif dari budaya lain. Kesadaran itulah yang diharapkan akan bersemi dihati kita ketika membaca kebesaran sejarah leluhur sehingga tumbuh sebagai jati diri yang tangguh.
Sejarah Singkat Wilayah Lamongan
Dilihat dari bukti, Lamongan memiiiki sejarah panjang jauh sebelum masa pemerintahan Airlangga yang berarti wilayah Lamongan mengalami seluruh periodisasi sejarah, mulai zaman prasejarah sampaizaman kolonial.
Berdasarkan temuan benda-benda kuno berupa kapak corang, candrasa, dan gelang-gelang (perhiasan) kuno di sekitar Desa Mantup Kecamatan Mantup menjadi bukti akurat bahwa Lamongan sudah dihuni manusia sejak zaman pra sejarah. Beberapa penemuan lain berupa Nekara dari perunggu yang ditemukan di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Benda-benda tersebut termasuk dalam masa perundagian di Indonesia yang berkembang semenjak lebih kurang 3000-2000 SM. Nekara ini digunakan sebagai wadah dan tutup kubur, dengan tipe nekara pejeng sebagai wadahnya dan nekara tipe heger I sebagai tutupnya. Jasad yang tersimpan dalam nekara tersebut adalah jasad mayat anak-anak. Didalam nekara kedungpring ini juga disertakan bekal kubur yang berupa kalung emas bertumpuk. Bukti lain yg memperkuat adalah ditemukannya kerangka manusia, manik-manik kaca, lempengan emas, kalung-kalung emas, benda-benda besi, gerabah, tulang binatang dan lain-lain yang juga terdapat di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Sistem penguburan dengan menggunakan nekara sebagai wadah jasad manusia dan benda-benda milik si mati, berlaku pada masa perundagian. Kapak corong dan candrasa saat ini disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya di bawah no.4437 dan 4438, begitu juga dengan nekara.
Sementara dari berbagai bukti arkeologi masa klasik bisa ditarik sebuah kesimpulanbahwa Lamongan pada masa itu memiliki peranan yang signifikan dalam panggung sejarah di Jawa Timur. Keberadaan prasasti-prasasti yang berjumlah puluhan (lebih dari 20 prasasti), lingga Yoni, dan bekas-bekas reruntuhan candi serta persebaran benda-benda prasasti yang hampir merata di seluruh wilayah, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa Wilayah Kabupaten Lamongan pada zaman dahulu (Kerajaan kuno) merupakan wilayah yang telah berkembang dengan sangat pesat dan menempati posisi sentral dalam zaman kejayaan kerajaan-kerajaan kuno tersebut, baik dalam bidang pemerintahan, perdagangan, dan juga keagamaan.
Puncak dari kejayaan zaman klasik di Kabupaten Lamongan dapat terlihat dari keberadaan prasasti-prasasti yang rata-rata dibuat pada pertengahan abad XI, tepatnya pada era pemerintahan Raja Airlangga Hal ini terbukti dari seluruh prasasti yang terdata oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, data dari BP3 Trowulan, dan data hasil penelusuran LSAPS sebagian dikeluarkan Raja Airlangga, diantaranya; prasasti pasar legi, prasasti Sendang Gede, prasasti Pamotan (Pamwatan), prasasti Drujugurit, prasasti Lemahbang, prasasti Wotan, prasasti Sumbersari, prasasti Kedungwangi, prasasti Sugio, prasasti Sumber sari I, prasasti Sumber Sari II, dan beberapa prasasti yang menurut hasil pembuktian ilmiah merupakan peninggalan Raja Airlangga.
Peranan sentral Wilayah Lamongan dalam perdagangan, pemerintahan, dan keagamaan masih sangat kuat hingga era Majapahit, dengan dua buah sungai besar yangmembelah wilayah Lamongan dari Timur ke arah barat, Lamongan menjadi jalur transportasi strategis yang melahirkan tanah-tanah perdikan yang disegani oleh pemerintahan pada saat itu. Ungkapan ini tertuang dalam prasasti Biluluk I-IV yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kerajaan Majapahit. Biluluk pada saat itu berstatus Sima Swatantra yang memiliki begitu banyak keistimewaan hak hampir menyamai istana Majapahit, komoditi perdagangan dan juga industri tenun berkembang pesat di Biluluk. Prasasti Biluluk sendiri dikeluarkan oleh 2 (dua) periode pemerintahan Raja Majapahit, yang menandakan arti penting Biluluk bagi Pemerintah Majapahit.
Pada masa akhir Pemerintahan Majapahit, kemunduran juga di alami oleh perdikan Biluluk di Lamongan yang berpusat di Wilayah Lamongan selatan, tepatnya sekitar kali Lamong. Namun di wilayah utara islam justru berkembang dan melahirkan perdikan-perdikan islam seperti Sedayu, Drajat dan Sendang Dhuwur. Munculnya perdikan pusat islam ini tak lepas dari berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro dibawah Pemerintahan Raden Patah.
Perdikan Drajat (1475 S / 1553 M) dipimpin oleh Sunan Drajat yang juga merupakan keturunan Sunan Ampel. Sementara perdikan Sendang Dhuwur (1483 S / 1561 M) dibawah kendali Sunan Sendang atau Raden Nur Rahmat. Hingga sekarang jejak ke dua pemimpin besar Islam di wilayah Lamongan tersebut masih tegak berdiri, berupa kompleks Makam dan bangunan gapura yang menyerupai candi.