Saya percaya bahwa setiap orang selalu berubah, mungkin alasan berubah karena memang datang dari dalam dirinya maupun karena tuntutan dari luar, apakah itu datang dari keharusan menyesuaikan diri dengan tipe pekerjaan yang ditangani, karena harapan orang-orang terdekat atau yang dicintai, dan atau karena tuntutan peran di dalam masyarakat. Demikian juga dengan menjadi seorang fasilitator dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Proses perubahan dalam diri yang berlangsung bisa berupa sisi kepribadian, minat dan penguasaan suatu ketrampilan tertentu. Tetapi, berbeda dengan pekerjaan lainnya, menjadi seorang fasilitator pada program pemberdayaan masyarakat menurut saya memerlukan proses transformasi diri yang luar biasa. Maaf, stateman saya tidak dalam rangka mengurangi arti proses atau bidagn pekerjaan lainnya. Saya mengatakan ini karena keberhasilan seorang fasilitator mutlak dipengaruhi 80 -90 % (ini hanya hitungan kira-kira, mohon tidak diperdebatkan -- red) dari proses transformasi yang sifatnya disadari dan dilakukan dengan sengaja, terencana dan selanjutnya melekat serta membentuk diri sang fasilitator menjadi lebih baik secara emosi (terkait emosional quotion/ESQ-nya), sosial (social intelligent-nya), dan spiritualnya (Spritual Intelligent-nya). Ada banyak proses adaptasi dan perubahan internal yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh sang fasilitator sebelum, selama, dan pasca pendampingan di masyarakat.
Berdasarkan pengalaman pribadi bertahun-tahun mendampingi masyarakat dan juga beberapa pengalaman kawan-kawan fasiltator di lapangan dalam kiprahnya di LSM, PPK (Program Pengembangan Kecamatan dulu cikal bakal dari PNPM Mandiri Perdesaan)*, program CSR beberapa perusahaan swasta atau kegiatan volunterering lainnya di masyarakat. Dari seluruh pengalaman yang terkumpul, saya melihat ada satu kesamaan yang tidak dapat dipungkiri dan semua fasilitator mengakui itu sebagai proses "pendewasaan" diri, pemahaman yang lebih lebih terhadap fenomena sosial, serta kepuasaan batin atas penemuan jati diri yang luar biasa. Proses transformasi diri ini uniknya, setelah terjadi dengan baik dalam diri fasilitator, menjadi melekat selamanya, bahkan membentuk dirinya menjadi "orang yang berbeda". Perubahan ini bukan sekedar seperti "sekedar menggunakan peran" atau "topeng" karena diperlukan untuk mendekati masyarakat dalam proses pendampingannya, melainkan perubahan yang positif dan membentuk nilai-nilai yang lebih baik seperti nilai penghargaan terhadap sesame, empati yang meningkat kepada orang lain yang dilanda sengsara dan keurangan, keinginan menolong dan meringankan tangan tanpa pamrih, kesabaran, kejujuran, dan lain-lainnya.
Proses transformasi diri ini tidak mudah dan bahkan terkadan gmerupakan proses "pengorbanan" untuk menyukai apa yang tidak kita sukai, meninggalkan kenikamatan dan fasilitas yang biasanya kita miliki sebelum datang ke masyarakat, menanggalkan egoism yang melekat, dam siap sedia untuk hidup serba sederhana yang berbeda jauh dengan kehidupan kita sebelumnya, serta berani meninggalkan orang-orang yang kita cintai dan berjauhan dengan keluarga dalam waktu yang lama, selama proses pendampingan berjalan. Proses lain yang tidak kalah sulitnya adalah ketika kitab isa memandang hidup inid ari kacamata masyarakat, memahami dan menerima pola kebiasaan dan perilaku yang sangat berbeda dengan kita, dan bagaimana kita tetap dapat merasa Bahagia, menikmati, serta menyukai hidup dengan segala yang ada di hadapan kita tanpa mengeluh kekurangan dan capek.
Terkait dengan proses transformasi diri ini, ada pengalaman saya ketika mendampingi masyarakat yang selanjutnya membentuk diri saya yang lain. Banyak kawan yang tidak percaya, yang baru bertemu atau baru berkawan dengan saya setelah saya tidak menjadi pendamping lapangan atau setelah saya menjadi konsultan program di pusat bahwa pada awalnya saya adalah seorang yang introvert, sangat tidak menyukai berbicara di depan umum, kutu buku dan dominan menguasai jika berdebat soal konsep, ilmu, dll. Sejujurnya, saya tidak mulai berubah ketika mulai aktif di banyak organisasi di kampus, ikut dalam kegiatan pengabdian masyarakat, penelitian antropologi (terus terang selama penelitian antropologi di lapangan saya banyak belajar memahami masyarakat dan belajar memandang sesuatu dengan budaya, nilai-nilai dan menerima masyarakat apa adanya, empati dll), dan selama menangani berbagai program pemberdayaan masyarakat diberbagai wilayah yang berbeda karakter masyarakat di Indonesia.
Saya teringat, pertama kali saya ditugaskan mendampingi masyarakat petani sawit di PIR Trans di wilayah OKI Palembang. Saya, yang sangat tidak menyukai musik dangdut, "dipaksa" tapia lama-lama suka menyanyi dangdut karena dalam pelatihan-pelatihan kelompok dan antar kelompok, petani sawit sangat menyukai menyanyi danggut. Lagu-lagu dangdut kami ganti liriknya menjadi liri yang memotivasi petani sawit menjadi "own manager" bagi kebunnya, lagu-lagu dangdut tersebut, menimbulkan rasa suka cita saya. Rasa suka cita tersebut lebih karena kegembiraan bersama mereka, karena kebahagiaan bersama petani yang kami damping. Sampai sekarang, saya tidak lagi membenci lagu dangdut, dan dalam berbagai pelatihan, untuk "ice breaking" saya selalu menyanyikan lagu dangdut bersama peserta. Ini satu transformasi sederhana yang terjadi di dalam diri saya. Transformasi yang lain, saya bisa menghilangkan rasa tidak nyaman berdiri di muka umum, dan sekarang saya bahkah sangat menyukai melatih, menyukai dan gembira setiap melakukan fasilitasi forum pertemuan di masyarakat maupun pelatihan dengan masyarakat dan dengan berbagai pihak. Terlalu banyak untuk diceritakan, tapi yang pasti saya yang sekrang berbeda dengan saya yang dulu. Perbedaan yang ada di saya, alhamdulillah malah sangat membantu saya menajdi lebih mencintai bidang pekerjaan yang saya geluti selama ini yakni pemberdayaan masyarakat dan pelatihan. Perubahan tersebut sifatnya permanen di dalam diri saya, merubah pola piker dan nilai-nilai saya, mebjadi lebih terbuka, bisa menerima orang lain, lebih sabar, tidak mendominasi dan yang terpentig saya merasa lebih bisa "melihat" dengan apa adanya.
Proses perubahan dalam diri fasilitator ini bisa berhasil atau gagal tergantung pada diri pribadi fasilitator. Pengalaman membuktikan, bagi seorang fasilitator pemula, yang sebelum masuk di bidang pemberdayaan masyarakat telah punya pengalaman beroganisasi dan berkecimpung sebagai aktifis kegiatan kepedulian sosial, maka proses transformasi diri ini tidak sulit. Hal ini juga tidak sulit dilakukan oleh fasilitator-fasilitator pemula yang diterjunkan ke desa-desa terasing, tertinggal atau wilayah sulit lainnnya, jika "bahan dasar kepribadian dan karakter" dari mereka memang memiliki petensi sebagai penyuka tantangan, suka menjelajah dan memiliki jiwa menyukai menolong orang serta terbuka terhadap perbedaan-perbedaan. Satu kunci penting seorang fasilitator atau pendamping masyarakat adalah memiliki jiwa dan kekuatan untuk menjelajahi perbatasan dalam bahasa Inggir "frontier power". Kemampuan untuk mengubah diri sendiri, memasuki arena peminatan, visi dan tindakan yang lebih luas untuk berkembang. Proses transformasi seorang diri menjadi sulit bagi fasilitator pemula yang sejak awal bekerja di program pemberdayaan masyarakat sudah memiliki harapan dan keinginan "hanya" untuk bekerja, bayangan pekerjaan fasilitator adalah seperti di kantor yang siap dengan fasilitatas. Juga sulit melakukan transormasi diri jika fasilitator memiliki pretensi, keinginan untuk mencapai materi semata, dan memiliki ego sentris yang kuat, karakter yang lemah, dan tentu saja tidak memiliki keinginan untuk berubah.
Karena sulitnya proses transformasi diri ini, maka tidak semua fasilitator masyarakat berhasil melakukannya dengan sempurna. Banyak fasilitator yang "dapat" menjadi fasilitator masyarakat dan tetap mendampingi di lapangan, tetapi -- mohon maaf -- saya katakan hanya sekedar mendampingi, sekedar menjalankan tupoksinya (tugas pokok dan fungsi) sebagai fasilitator yang digaji tiap bulan oleh program atau Lembaga dia bekerja. Ada banyak fasilitator yang dalam perjalanannya hanya menjadi fasilitator "artifisial", eksistensinya terkesan "ada tapi taka da" di masyarakat, tidak membawa dampak perubahan di masyarakat, serta setelah tugasnya selesai di satu lokasi, tidak ada sesuatu yang dia tinggalkan untuk masyarakat, pun tidak ada yang "membekas" dalam alam pikiran dan hatinya, kesan mendalam dan perubahan positif pada perilakunya. Ada banyak fasilitator yang "tidak sabar", menjadi banyak mengeluh, apatis, serta kerja "minimalis" ketika ditempatkan mendampingi masyarakat di lokasi yang sulit.
Dalam perjalanan supervise saya selama ini, setiap datang ke kecamatan atau kabupaten bertemu dengan fasilitator, beberapa ada yang meminta bantuan saya dan mengeluh karena ditugaskan di daerah yang sulit. Lokasi yang "tidak enak" (jauh, medan sulit, tidak ada akses informasi, dll) tersebut merupakan lokasi tugas kalau bisa "dihindari", atau dianggap sebagai lokasi "hukuman" bagi fasilitator (dan sayangnya, sang supervisor tidak pula mendukung dan lebih memberi perhatian dan bantuan untuknya, jarang mengunjunginya sehingga cap ini semakin sah dan menjadi rahasia umum dimana-mana, red). Dan sudah menjadi rahasia umum di program seperti PNPM Mandiri Perdesaan, selama saya menjadi spesialis training di NMC (National Management Consultant/Konsultan Pusat) dan melakukan supervise pada pelatihan pra tugas calon fasilitator kecamatan (FK), maka di lokasi-lokasi sulit di seluruh Indonesia baik di wilayah barat, tengah wilayah timur, kepulauan (Maluku, NTT, NTB, dll), Kallimantan,wilayah perbatasan, Papua, dll, maka hamper dipastikan tingkat mundur dari fasilitator baru yang lulus seleksi di pelatihan pra tugas cukup tinggi. Fasilitator baru yang belum menginjakkan kakinya di lokasi penempatan yang sulit tersebut, sudah mundur di awal atau baru ditugaskan 2 -3 bulan, sudah keluar, dan kalaupun bertahan di lapangan maka eksistensinya diragukan apakah "ada tapi taka da" alias jarang ada di lokasi. Tetapi memang ada beberapa kasus menggembirakan, dimana justru fasiltiator yang ditugaskan di lokasi sulit tersebut dapat beradaptasi dengan baik, bahkan berhasil diterima dan mampu melakukan pendampingan di masyarakat. Mereka yang berhasil tersebut, telah "lolos ujian" berat dalam proses transformasi diri, adaptasi internal dan eksternal di masyarakat. Saya selalu mengatakan kepada teman-teman fasilitator pemula yang lulus pada pelatihan pra tugas, bahwa lapangan dan masyarakatlah sesungguhnya yang akan menguji kekuatan dan daya tahan mereka sebagai fasilitator. Tes apapun selama pelatihan, tidak menjadi penjamin mutlak mereka akan sukses menjadi fasilitator dan pendamping masyarakat. Mereka harus "belajar" keras dan banyak selama di lapangan, belajar yang tidak ada dalam sekolah/perguruan tinggi manapun, yakni bagaimana dapat diterima masyarakat, dapat membangkitkan kesadaran masyarakat dan kemandirian masyarakat.
Ada satu perngalaman yang perlu saya ceritakan di sini terkait proses transformasi ini, yakni proses transformasi diri yang terkait dengan penerimaan kelompok sasaran/masyarakat. Saya pernah bertemu dengan salah seorang pendamping pada masa IDT dulu di Maluku, yang kebetulan tugasnya adalah mendampingi masyarakat di salah satu desa di Seram. Sang fasilitator ini adalah anak asli Ambon, atau katakanlah anak kota, beragama Islam, dan tentu saja sarjana. Tugas saya waktu itu adalah mengevaluasi hasil pendampingan yang dilakukannya di desa tersebut. Apa yang saya temui adalah: dia sama sekali tidak mau tinggal di desa tersebut, kalau pun tinggal di desa yang berjauhan dan lebih dekat dengan kecamatan. Dia hanya datang sekali dua kali di desa untuk sekedar memfasilitasi bagaimana dana dapat "diserap" oleh masayrakat. Dana IDT tersebut, akhirnya dibagi rata untuk kegiatan ternak kambing. Walhasil, karena tidak ada pendampingan, program itu gagal (kambing mati, tidak jelas pengelolaannya, dan menimbulkan kecemburuan dan ketidakadilan di msyarakat). Saya bertanya kepada fasilitator tersebut, mengapa dia tidak bersedia tinggal di desa tersebut? Jawabannya sungguh membuat saya geleng kepala, yakni karena masyarakat di desa tersebut adalah masyarakat kristiani, dan karena sehari-hari masyarakat desa tersebut lebih sering ada di ladang yagn jauh dari kampung, sehingga menurutnya percuma dia tinggal di desa. Desa tersebut hanya ramai pada saat akhir pekan karena seluruh masyarakat menghadiri ibadah di gereja. Alasan lainnya terkait dengan keyakinan Islam yang dia miliki, yang menurutnya, sebagai muslim "Najis" tinggal di desa yang -- mohon maaf -- banyak anjing berkeliaran, babi di pekarangan. Menurutnya, Najis jika diberi minum masyarakat dengan gelas mereka yang dia Yakini sering digunakan untuk minum "sopi" *minuman keras dari saguer/nira yang difermentasi menjadi tinggi kandungan alkoholnya dan memabukkan). Dengan kondisi tersebut, menurut dia tidak bisa tinggal menyatu dengan masyarakat. Hal ini saya klarifikasi dengan tokoh dan warga masyarakat di desa tersebut -- tentunya menyinggung soal perbedaan sudut keyakinan ini -- dan luar biasa...masyarakat di Maluku sebetulnya sudah saling tahu soal beda keyakinan tersebut. Mereka yang kristiani dapat memahami syariah Islam seperti soal Najis, makanan dan minuman yang haram, bahwa muslim tidak dapat makan dari bahan halal tetapi diproses menggunakan wadah atau minyak "bekas" menggoreng babi misalnya. Masyarakat di des aitu mafhum soal itu, sehingga mereka bahkan menawarkan untuk membangun pondokan tersendiri buat sang fasilitator, mereka menghargai keyakinan fasilitator tentang najis dll. Mereka hanya ingin dekat dengan fasilitator, tetapi sayangnya sang fasilitator tersebut betul-betul tidak bisa menerima perbedaan ini. Dia tidak menyukai lokasi tugasnya karena di dalam hati dan pikirannya sudah ada penolakan.
Saya bisa memahami pandangan sang fasilitator, tetapi berjuta maaf saya perlu sampaikan, saya juga muslim dan punya syariah yang sama. Tetapi, sikap sang fasilitator tersebut sangat berbeda dengan sikap saya. Saya, tidak akan ragu menyatakan perbedaan pandangan saya, nilai-nilai saya, lalu mencari solusi bersama masyarakat sehingga saya tetap dapat menjalankan akidah saya, dapat memnuhi kebutuhan dasar seperti makan, minum, dll (tentunya saya bisa masak sendiri, membawa gelas saya sendiri dan alat makan lainnya sendiri; saya dapat membuat kopi sendiri di dapur mereka, dan cara saya bukan lagi bertamu kepada mereka, tapi sudah seperti bagian keluarga dari mereka). Saya bahkan sering memasuki gereja selama pendampingan saya di Maluku, mendengarkan khotbah pendeta dan selanjutnya pasca ibadah, saya membahas rencana kegiatan di masyarakat dan penguatan kelompok. Kalau itu satu-satunya waktu yang efektif bertemu masyarakat, itu akan saya lakukan.
Transformasi yang terjadi di saya adalah: saya memahami agama Kristena dengan baik, memahami khotbah pendeta sebagai ajaran mereka untuk kebaikan umatnya, tetapi saya tidak berganti akidah. Akidah saya sudah dibangun kuat sejak kecil oleh keluarga saya, dan alhamdulillah keyakinan saya dilandasi nilai humanisme dalam Islam sebagaimana yang saya pegang selama ini. Transformasi lebih pada bagaimana saya menerima masyarakat dengan segala keyakinan dan nilai-nilainya. Mungkin sang fasilitator sebelumnya memiliki alasannya seperti itu, tetapi saya katakan dia tidak belajar menjadi seperti ikan di laut: walaupun ikan hidup dan makan di air laut yang asin, tidak ada seekor ikan pun yang dagingnya asin. Subhanallah. Seperti itu juga transfirmasi dapat ita maknai, bukan berarti kita lalu berubah menjadi orang yang sama dengan masyarakat yang kita dampingi. Justru kita menjadi pribadi yang lebih baik, pribadi yang bisa "merangkul" banyak kalangan walau secara keyakinan dan nilai-nilai kita sangat berbeda dengan mereka, atau kita sangat tidak setuju dengan cara hidup dan nilai-nilai kelompok yang kita damping. Sebagai fasilitator, oleh karena itu, tidak akan takut atau menghindari bergaul dengan preman, WTS (Wanita tuna Susila), kelompok waria, dll yang biasanya disisihkan oleh masyarakat. Tetapi, tujuannya bergaul dengan mereka adalah untuk tujuan kebaikan pendampingan dan mendapatkan dukungan merek adalam program, misalnya untuk pencegahan HIV/AIDs, perlindungan anak jalanan, dan kita dapat melakukan perubahan dengan mengarahkan mereka memilih profesi yang lebih bermartabat dengan cara alih profesi, dll.