Sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur, Surabaya menjadi pusat administratif, pemerintahan, pendidikan, pembangunan, kesehatan, serta pusat ekonomi di Jawa Timur. Dengan total penduduk lebih dari 3 juta jiwa, menjadikan Kota Surabaya menjadi kota terbesar kedua setelah Jakarta. Dengan tingginya penduduk disertai peran Surabaya sebagai ibukota provinsi menjadikan ekonomi Surabaya berkembang pesat menyebabkan Surabaya memiliki keragaman bentuk kegiatan ekonomi yang berdampak pada luasnya kesempatan kerja di Surabaya.
Beragamanya kegiatan ekonomi Surabaya seperti industri, jasa, perdagangan, dan sebagainya, berdampak pada luasnya kesempatan kesempatan kerja di Surabaya, hal ini menyebabkan tingginya urbanisasi ke Surabaya (masyarakat dari daerah lain pindah ke Kota Surabaya). Tingginya urbanisasi, angka kelahiran hidup, serta penurunan jumlah kematian menjadi faktor penyebab padatnya penduduk di Kota Surabaya.
Data dari BPS di tahun 2023 jumlah penduduk Surabaya mencapai di angka lebih dari 3 juta jiwa, tingginya penduduk tidak sebanding luas Surabaya yang terbatas yang hanya berkisar 350,54 km. Ini berarti terdapat 8.558 jiwa/km yang mana angka tersebut sangat tinggi, menyebabkan tingginya harga lahan di Surabaya yang berdampak pada banyaknya warga yang masih belum memiliki hunian. Banyak serta padatnya penduduk Surabaya tak dibarengi dengan adanya kontrol tata kota, maupun fasilitas dari pemerintah Kota Surabaya hal ini terlihat pada banyaknya area pemukiman yang semrawut, serta terdapat wilayah kumuh padat penduduk yang masih ada di Surabaya.
Padatnya penduduk di Kota Surabaya yang apabila tidak segera adanya peraturan dan penataan akan menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan, baik itu kesehatan, keamanan, kesenjangan, serta lingkungan. Padatnya penduduk dapat menjadi efek domino yang akan memicu rentetan masalah-masalah lain di berbagai sektor.
Di tahun 2022, BPS mencatatkan setidaknya 4% penduduk Surabaya berada di garis kemiskinan serta 30% atau sekitar 1 juta jiwa tergolong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) atau rentan mengalami kemiskinan. Mereka yang tergolong miskin dan rentan miskin mengalami keterbatasan akses kesehatan, pendidikan, dan hunian yang memadai. Tingginya biaya hidup dan inflasi tidak sebanding dengan pendapatan mereka yang hanya berkisar di 1,5 juta rupiah, kesenjangan antara pendapatan dengan biaya hidup Kota Surabaya menambah ceruk kesenjangan sosial dan ekonomi di Surabaya.
Tingginya masyarakat tergolong miskin dan rentan miskin menyebabkan minimnya akses pendidikan yang memadai, hal ini dapat mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan. Padatnya penduduk yang tak disertai penggunaan lahan yang terkonsentrasi menyebabkan banyaknya bangunan permukiman yang dibangun tanpa melihat efek pada lingkungan. Kurangnya ruang terbuka hijau menjadikan udara Kota
Surabaya cenderung kurang sehat akibat polusi kendaraan bermotor yang cukup tinggi.
Alih fungsi lahan menjadi pemukiman yang tak diatur juga mengakibatkan banyaknya area pemukiman sempit dan cenderung kumuh yang masih banyak dijumpai di Kota Surabaya.
Area pemukiman yang tertutup berdampak pola hidup masyarakat area tersebut tidak sehat.
Tinggi dan padatnya penduduk di Surabaya juga berdampak pada jumlah sampah yang dihasilkan tiap harinya, 1.594 ton sampah dihasilkan di Kota Surabaya dan masuk ke TPA Benowo. Pengelolaan sampah yang kurang baik dan terpadu menyebabkan adanya penumpukan sampah di titik-titik area pemukiman Kota Surabaya. Selain itu kurangnya edukasi pada masyarakat, fenomena buang sampah sembarang masih marak terjadi dan menjadi hal lumrah di kampung. Selain sampah, pemukiman yang dekat dengan sungai, akan mencemari sungai secara langsung maupun tak langsung. Pemukiman yang dekat sungai akan mengontaminasi sungai dengan bakteri e.coli yang berasal dari rembesan tinja asal septic tank yang berlokasi dekat dengan sungai.
Jumlah penduduk yang berlebihan di Surabaya tak dibarengi dengan penyerapan kerja yang memadai. Data dari BPS menunjukkan pengangguran di Surabaya berkisar 6,76% dari total penduduk Surabaya atau terdapat lebih dari 200 ribu penduduk tidak memiliki pekerjaan di Surabaya. Tingginya pengangguran serta masyarakat miskin dan rawan miskin di kawasan penduduk dapat memunculkan tindak kriminal yang dilatarbelakangi oleh ekonomi. Sepanjang tahun 2022 BPS mencatat lebih dari 8.000 lebih kasus tindak kriminal yang terjadi di Surabaya. Kebutuhan hidup dan tanggungan yang tinggi serta kurangnya edukasi dan keterampilan menjadi motif utama dari tindak kriminal yang terjadi di Surabaya.
Masalah kepadatan penduduk merupakan masalah kompleks yang dapat menimbulkan rentetan masalah-masalah lain, perlu ditetapkannya regulasi yang tegas dan solutif, kerjasama antar pihak baik pemerintahan dan masyarakat, perlu adanya pelayanan masyarakat yang mudah dan dapat diakses, pemerataan pendidikan, serta penataan area pemukiman. Kebijakan dari pemerintah harus mempunyai tujuan dan strategi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang timbul dari dampak padatnya penduduk, beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1.Pembangunan Sekolah
Padatnya penduduk di Surabaya tidak diseimbangi oleh edukasi di masyarakat. Jumlah sekolah yang minim menjadikan edukasi adalah sesuatu hal yang dianggap ekslusif dan mahal di Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya perlu menambah jumlah sekolah guna menjangkau edukasi untuk masyarakat luas
2.Pendataan dan Keterbukaan
Data merupakan hal yang penting untuk menetapkan strategi kebijakan, pembaharuan data secara berkala serta pembukaan akses data untuk publik dapat membantu penentuan kebijakan. Selain itu perlu adanya perluasan kategori pendataan guna sebagai pendukung kebijakan.
3.Pemberdayaan dan Sosialisasi Masyarakat
Pemkot Surabaya wajib mengadakan program pelatihan pendampingan kerja, hal ini guna meneken tingginya angka pengangguran di Surabaya. Pemerintah dapat mengadakan pelatihan kewirausahaan serta pengawasan dan pemodalan kewirausahaan guna memberantas kemiskinan dan menciptakan masyarakat yang berdaya. Perlua adanya sosialisasi lini sektor untuk menaikkan taraf hidup masyarakat Surabaya.
4.Sentralisasi Kawasan
Perlu adanya penataan kota yang terstruktur dan tersentralisasi fungsinya. Pemerintah perlu merancang area yang akan jadi pusat pemukiman, industri, perdagangan, dan lain-lain. Hal ini guna dapat memantau dan mengontrol angka kriminalitas serta mengontrol kebersihan dan kesehatan di Surabaya
5.Apartemen Rakyat
Penggunaan lahan yang didominasi oleh pemukiman mengurangi ketersediaan lahan di Kota Surabaya. Perlu adanaya perubahan dari rumah tapak ke rumah susun (apartemen) yang terjangkau bagi masyarakat Surabaya. Sehingga tersedianya lahan untuk ruang terbuka hijau, ataupun guna pembangunan infrastur yang ramah lingkungan.
6.Digitalisasi Layanan dan Pusat Layanan Terpadu
Di era digital gaya hidup menjadi berubah ke arah serba digital. Perlu adanya pelayanan administrasi digital guna memudahkan masyarakat ataupun birokrasi di tingkat pemerintah guna mencapai pembangunan yang cepat dan terkonsep.
Kompleksitas masalah kepadatan penduduk di Surabaya berbuntut timbulnya masalah yang muncul di masyarakat. Perlu adanya kerja sama antara pemerintah, masyarakat, serta ahli-ahli atau pakar guna mengurai masalah masalah yang timbul akibat kepadatan penduduk. Penyuluhan keluarga berencana berkala dan patuh program KB menjadi solusi praktis yang dapat menjawab masalah pertumbuhan penduduk Surabaya yang overcapacity. Restruktur tata kelola kota dan fasilitas dari pemerintah harus segera dirancang guna tidak menimbulkan dampak yang jauh lebih buruk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H