Menutup akhir November 2024, Aceh kembali menjadi titik singgah kelompok etnis Rohingya. Sebanyak 116 orang pengungsi tiba melalui perairan Kuala Ujung Perling, Bireuen Bayeun, yang terletak di Kabupaten Aceh Timur. Gelombang kedatangan ini merupakan kelompok pengungsi Rohingya keempat yang masuk ke Indonesia sepanjang tahun ini. Pola migrasi mereka telah menjadi fenomena yang relatif mudah diprediksi, dengan kedatangan yang biasanya terjadi pada awal dan akhir tahun, terutama melalui Aceh. Fenomena ini telah menyebabkan posisi Indonesia, khususnya Aceh, sebagai salah satu wilayah yang menjadi tujuan dari migrasi Rohingya ke Indonesia dan titik sentral di kawasan Asia Tenggara. Aceh yang terletak di bagian paling ujung pulau Sumatera memiliki posisi geografis yang strategis dan dimanfaatkan menjadi jalur pelayaran tradisional etnis Rohingya.
Sejak 2009 hingga akhir tahun 2024, sudah ada 41 gelombang kedatangan pengungsi Rohingya yang masuk ke Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada 39 kali masuk melalui wilayah perairan Aceh, sementara satu gelombang pengungsi tercatat masuk melalui Sumatera Utara, dan satu gelombang lainnya masuk melalui Nusa Tenggara Timur (NTT). Data ini mencerminkan intensitas dan konsistensi dari migrasi pengungsi Rohingya ke Indonesia. Aceh bukan tanpa alasan menjadi lokasi transit bagi para kelompok etnis Rohingya yang masuk ke Indonesia. Sebagai pintu gerbang yang dianggap strategis, wilayah ini menjadi titik awal perjalanan mereka setelah melarikan diri dari kamp-kamp pengungsian yang ada di Bangladesh, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, dan bahkan mencoba mencari rute ke Australia.
Fenomena ini telah memicu diskusi yang melibatkan berbagai pihak, baik di tingkat lokal di Aceh maupun di tingkat nasional, serta menarik perhatian dunia internasional. Kehadiran pengungsi Rohingya yang terus berdatangan ke Aceh telah memicu pro dan kontra di kalangan Masyarakat. Ada sebagian masyarakat merespons positif kedatangan pengungsi Rohingya dengan alasan kemanusiaan, mengingat banyaknya kelompok rentan, seperti anak-anak dan lansia, yang turut serta dalam setiap gelombang pengungsi yang memasuki wilayah Aceh. Namun ada juga beberapa pihak telah menyuarakan penolakan mereka terhadap kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh, dengan berbagai alasan.
Salah satunya, kelompok yang mengatasnamakan Mahasiswa Pemuda Peduli Aceh, membuat tuntutan tegas pada November 2023, meminta pemerintah Aceh untuk mengusir pengungsi Rohingya, dengan alasan kedatangan mereka dianggap meresahkan masyarakat setempat. Penolakan serupa juga terdengar di beberapa daerah lain di Aceh, seperti di Lhokseumawe, kemudian di penolakan serupa juga terjadi di Pidie yang mana mereka meminta UNHCR dan IOM untuk memindahkan Rohingya dari tempat penampungan sementara yang ada di Pidie. Penolakan terhadap kehadiran pengungsi Rohingya juga terjadi di Aceh Selatan, serta di Jangka, kabupaten Bireuen, yang menunjukkan bahwa gelombang penolakan ini meluas di berbagai daerah di Aceh.
Penolakan terhadap kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh merupakan fenomena baru yang menarik untuk dikaji. Sebelumnya, masyarakat Aceh dikenal sangat antusias dalam memberikan bantuan, yang mencerminkan semangat tradisi "peumulia jamee". Mereka tidak hanya memberikan tempat untuk lokasi penampungan darurat, tetapi juga memberikan bantuan dasar para pengungsi, seperti makanan, pakaian layak pakai, dan kebutuhan lainnya selama masa darurat tersebut. Namun, perubahan sikap ini menunjukkan dinamika baru dalam persepsi masyarakat, di mana antusiasme terhadap kehadiran pengungsi Rohingya tampak menurun seiring berjalannya waktu.
Perubahan persepsi masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya merupakan hasil dari dinamika yang kompleks. Isu-isu yang berkembang seperti penyelundupan, perdagangan manusia, perilaku pengungsi di tempat penampungan sementara, pelarian mereka dari kamp-kamp pengungsian, serta anggapan bahwa Indonesia, khususnya Aceh, tidak memiliki wewenang untuk menangani masalah ini, telah memperburuk pandangan publik terhadap pengungsi etnis Rohingya ini, yang Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut mereka sebagai kelompok etnis paling teraniaya di dunia.
Penyebab Rohingya Masuk ke Aceh
Pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh dari tahun 2020 hingga 2024 sebagian besar berasal dari kamp-kamp pengungsian di Cox's Bazar, Bangladesh. Mereka mengungsi akibat penolakan Myanmar untuk mengakui kewarganegaraan dan identitas etnis mereka, serta penganiayaan dan genosida mengerikan yang dilakukan oleh rezim pemerintah Myanmar. Keberadaan Rohingya di Kamp-kamp di Bangladesh ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk kekurangan makanan, kesehatan, bencana alam, dan kebakaran besar pada Juni 2024 yang menyebabkan 1.200 orang kehilangan tempat tinggal. Persoalan lain yang muncul adalah pengungsi Rohingya kini menghadapi tantangan hidup akibat berkurangnya dukungan dan perubahan prioritas global (IOM UN Migration, 2024).
Krisis Rohingya cenderung terlupakan di tengah-tengah banyak isu global lainnya. Ketidakamanan di kamp Cox's Bazar memperburuk situasi, dengan banyaknya pemuda yang putus asa dan terjerumus ke dalam tindak kriminal, termasuk perdagangan manusia dan kekerasan (Runde, 2023; Kabir, 2023). Kondisi yang memburuk di kamp-kamp pengungsian mendorong para pengungsi Rohingya untuk menempuh perjalanan laut yang berisiko tinggi menuju Asia Tenggara, termasuk Provinsi Aceh di Indonesia.
Aceh seringkali menjadi titik transit sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Malaysia. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengapa Aceh sering kali menjadi pintu masuk utama bagi para pengungsi Rohingya. Dalam konteks migrasi paksa, kelompok pengungsi Rohingya umumnya memiliki tujuan akhir yang jelas, salah satu diantaranya yaitu Malaysia. Faktor utama di balik hal ini adalah keberadaan pengungsi dan keluarga mereka yang telah menetap di Malaysia, serta tersedianya dukungan finansial yang digunakan untuk membayar para penyelundup. Bahkan, keluarga pengungsi sering kali harus berhutang kepada kelompok penyelundup untuk membawa mereka dari kamp-kamp pengungsian di Bangladesh ke Malaysia. Menurut UNHCR Malaysia per Oktober 2024, terdapat sekitar 111.020 pengungsi Rohingya di negara ini, menjadikannya salah satu tujuan utama komunitas pengungsi Rohingya.
Didorong oleh harapan akan kehidupan yang lebih baik, mereka mempertaruhkan nyawa untuk menghindari kemiskinan, ancaman keamanan, dan kurangnya fasilitas. Pada tahun 2023, UNHCR melaporkan bahwa 569 pengungsi Rohingya meninggal atau hilang di laut, angka tertinggi sejak 2014 (Al Jazeera, 24 Januari 2024). Perjalanan menuju Indonesia atau Malaysia bukanlah hal yang mudah. Namun, pengawasan terhadap pengungsi Rohingya di Malaysia jauh lebih ketat dibandingkan dengan di Indonesia. Hal ini menyebabkan banyak pengungsi Rohingya memilih memasuki wilayah Indonesia terlebih dahulu, khususnya melalui perairan Aceh, sebelum mencari celah untuk melanjutkan perjalanan ke Malaysia.