Rokok Antara Halal dan Haram
Penulis: Chalifah R Assidiqie
Di suatu pengajian sore, sedang berlangsung tausiah agama oleh sang ustad. Sang ustad membawakannya dengan santai, sambil sesekali bergurau dengan jama’ah. Jama’ah pun terlihat santai, mereka menyimak sambil sesekali tertawa renyah karena banyolan sang ustad. Saya pun sangat menikmati ceramah agama yang dibawakannya tentang keikhlasan, dengan gaya dan ciri khasnya, jama’ah mudah menyerap isi tausiah tersebut. Disela-sela banyolannya, sang ustad berkata “cukuplah saya diberi satu slop rokok Dji Sam Soe, saya sudah senang”....sang ustad tertawa, jamaah pun ikut tertawa. Mungkin maksudnya cuma bercanda dan menghidupkan suasana, tapi membuat saya mengingat-ngingat lagi beredarnya fatwa haram MUI bebrapa tahun lalu. Jika orang awam seperti saya yang menelan mentah-mentah bahwa rokok itu haram. Mengapa saya sering kali mendapati para tokoh agama dan kalangan umat Islam sendiri yang dengan bebasnya menghisap rokok di tempat-tempat umum...lho kok?
Bagi saya yang tidak mengkonsumsi rokok dan sadar akan bahayanya, rasanya tepat sekali fatwa MUI yang mengharamkan rokok pada tahun 2007 lalu. Tapi yang saya rasakan hingga saat ini, kenapa fatwa itu seperti angin lalu saja. Seperti tidak digubris. Bahkan menimbulkan banyak perdebatan. Mungkin karena saya belum paham betul apa yang terjadi di balik pro dan kontra tentang fatwa haram tersebut. Dan juga pemerintah yang tidak tegas, serta kurangnya informasi yang sejelas-jelasnya kepada masyarakat. Mari kita coba melihat lebih jauh, sebenarnya apa yang terjadi di balik tarik ulurnya pemerintah mengenai masalah rokok ini.
Tidak bisa dipungkiri, rokok merupakan salah satu barang konsumsi yang sudah mendarah daging dan membudaya di kalangan masyarakat kita. Tak heran timbulnya beberapa larangan dan fatwa haram MUI menimbulkan berbagai macam polemik. Bererapa pihak sangat mendukung fatwa tersebut, namun banyak juga yang mengecam karena beberapa faktor. Semua alasan yang dilontarkan adalah masuk akal, baik yang pro mau pun yang kontra.
Mengapa Diharamkan?
Beberapa hal yang menjadi landasan diterbitkannya fatwa haram antara lain, dari segi kesehatan sudah sangat jelas efek sampingnya akan sangat merugikan bagi tubuh manusia. Pesannya pun terpasang jelas pada bungkus rokok itu sendiri, iklan dan berbagai macam media. Sudah sangat banyak sekali penelitian medis dilakukan sejak lama, hasilnya tak ada satu pun yang menyatakan bahwa rokok itu aman dikonsumsi. Semua jenis rokok berpotensi menimbulkan berbagai penyakit seperti serangan jantung, kanker, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Semua efek samping itu bisa timbul dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tidak hanya bagi si perokok, orang lain yang menghisap asap hasil pembakaran rokok pun ikut terkena dampaknya. “Terpaan secondhand smoke (asap yang diikeluarkan dari paru-paru perokok atau asap yang timbul pada pembakaran akhir rokok) merugikan sistem kardiovaskuler pada manusia, dan terpaa secondhand smoke ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan penyakuit jantung pada orang dewasa yng tidak merokok (perokok pasif)” kata Janet Collins direktur Pusat Pengendalian Penyakit di AS. WHO sebagai Badan kesehatan dunia menyebutkan di Amerika ada sekitar 346 ribu orang meninggal tiap tahun dikarenakan rokok, dan tak kutang dari 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kangker di salah satu rumah sakit Shanghai China juga disebabkan oleh rokok. Tak berlebihan jika menyebutkan rokok itu lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya.
Dari segi moralitas generasi bangsa, jelas-jelas sangat merugikan. Komisi Perlindungan Anak lah yang sangat vocal menyerukan bahanya rokok bagi generasi muda. Bayangkan, bagaimana jika anak-anak remaja saat ini sudah kecanduan rokok, beberapa tahun ke depan kesehatannya akan terganggu, daya pikirnya melemah, dan secara mental menjadi tidak sehat. Ini lah yang menjadi kekhawatiran ancaman buat generasi bangsa kita. Sedangkan untuk dapat mencetak generasi yang akan datang sebagai pemimpin masa depan, diperlukan generasi muda yang sehat dan tangguh, baik fisik maupun mentalnya.
Dari berbagai alasan medis dan moralitas di atas, MUI tentu juga mengambil dasar dari al-Qur’an dan Sunnah. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 195 “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan” . Dalil yang lain bahwasannya Rasulullah SAW bersabda “Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain’’ (HR Ibnu Majah dari Kitab Al-Ahkam 2340)
Mengapa Diperbolehkan?
Rokok adalah salah satu komoditas paling berpengaruh di Indonesia, bahkan dunia. Bagaimana tidak, pertumbuhan produksi rokok meningkat dari tahun ke tahun. Pajaknya pun mempunyai andil sangat besar terhadap pemasukan pemerintah. Beberapa Ulama dan Tokoh Agama seperti Din Syamsuddin ketua Muhammadiayah berpendapat rokok mempunyai andil besar dalam perekonomian Indonesia. Banyak masyarakat yang bisa dihidupi dari rokok, seperti petani tembakau, buruh, penjual dan lain sebagainya. Jika Rokok diharamkan, bagaimana dengan nasib para petani dan buruh yang menggantungkan mata pencahariannya dari situ. Sehingga fatwa haram rokok masih harus dipertimbangkan lebih lanjut, atau dicari bagaimana solusi hukum yang terbaik.
Selain itu Hasyim Muzadi ketua Nahdatul Ulama menegaskan “Kalau di NU, dari dulu sampai sekarang, (merokok) itu hukumnya makruh tidak sampai haram”. Menurutnya, terdapat relativitas dampak rokok terhadap kesehatan, tidak seperti daging babi dan minuman keras yang memang sudah jelas hukumnya tertera dalam Al-Quran.
Di luar dari segala polemik tentang rokok, MUI sebagai lembaga yang mengatur tentang hukum Islam di Indonesia, sudah selayaknya mengambil sikap, tentang posisi tokok itu sendiri dalam masyarakat, agar tidak menimbulkan kegamangan dan keresahan di kalangan masyarakat khususnya Indonesia. Karena pada dasarnya masalah halal haram adalah masalah yang krusial, menyangkut keyakinan dan ketenangan masyarakat dalam menjalankan Agama Islam.
Pada akhirnya, MUI menyepakati secara bulat bahwa hukum haram merokok hanya berlaku untuk tiga kondisi yaitu, Anak-anak di bawah 17 tahun, wanita hamil, dan orang yang merokok di tempat umum. Selebihnya hukum merokok adalah “Makruh” (tidak dianjurkan). Memang banyak yang menganggap fatwa MUI tersebut tidak tegas, dan masih malu-malu. Namun banyak aspek yang harus dipertimnangkan demi kemaslahatan masyarakat. Seperti kata Prof Nurhayati Hakim, Dewan Penasehat MUI yang membela “Paling tidak, fatwa MUI tersebut sudah ada batasan sehingga masyarakat tidak bebas lagi merokok”
Sekarang tinggal masyarakat yang memilih dan menyikapinya dengan bijak. Jika memang keputusan fatwa haramnya hanya dibatasi oleh tiga hal diatas, maka taatilah hukum tersebut. Dan selebihnya, untuk perokok dewasa, sudah jelas hukumnya adalah “Makruh”, dijauhkan mendapat pahala, dilakukan juga tidak apa-apa. Asalkan dia tahu dan sadar dengan konsekuensi yang ditimbulkan. Tak ada Agama manapu yang menganjurkan ummatnya merusak diri sendiri, hukum sudah jelas, tinggal kita bijak memilihnya.
Sumber:
www.citizennews.suaramerdeka.com
http://m.detik.com
www.kuspriyatna.staff.uii.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H