Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kang Nug Mengomentari Halim Mahfudz: Duh!

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1362202055304191036

[caption id="attachment_239628" align="aligncenter" width="360" caption="Plt. Ketum BOPI Haryo Yuniarto dan Nugraha Besoes"][/caption] “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.” - Milan Kundera Tulisan ini hendak mengapresiasi banyaknya suara yang mengatakan bahwa Halim Mahfudz yang telah dipecat oleh Djohar Arifin, Ketua Umum PSSI saat ini, sebagai haus akan kekuasaan hanya karena ia membela bahwa pemecatan dirinya tidak sah. Menyangkut sah atau tidaknya pemecatan itu tidak akan diulas di sini mengingat banyak kompasianer yang telah membahasnya. Memang benar, rasanya baru kemarin seluruh elemen sepakbola nasional begitu gegap gempita menyaksikan ada seorang sepuh "terpaksa" merelakan kursi Sekjen PSSI yang didudukinya kurang lebih 20 tahun dengan nyaman. Saat itu, setinggi apa pun suka cita orang yang berhasil mengusir Nurdin Halid dari kursi Ketua Umum PSSI rasanya akan menjadi percuma jika kursi sekjen tetap diduduki orang yang sama. Tidak mengejutkan apabila ada di antara kita yang sontak sujud syukur begitu figur sepuh itu terdesak untuk mengatakan mundur dari jabatannya. Perayaan semacam ini mungkin dapat dianggap pantas. Betapa tidak, Nugraha Besoes atau yang biasa disapa Kang Nug, rupanya dipanggil sepuh bukan hanya karena usianya yang memang tak muda lagi, tetapi karena betapa liatnya dia merengkuh kekuasaan sedemikian lama. Sampai-sampai banyak di antara kita yang sulit untuk mengingat kapan persisnya dia menduduki kursi sekjen PSSI dikarenakan kita masih kecil. Memang betul, sebagai sekjen Kang Nug hanya diusulkan Ketua Umum PSSI lalu diputuskan exco PSSI, dan selama ia menjabat, datang dan pergi Ketua Umum PSSI yang berbeda-beda. Mengapa tidak disalahkan saja ketum-ketum dan exco yang menunjuknya? Untuk menjawab hal itu tampaknya tak sederhana. Sebab, dalam relasi sosial, mana yang rendah-tinggi dan yang berkuasa-dikuasai terkadang kabur. Kita dapat mengambil ibarat dari kehidupan di penjara yang memanggungkan relasi antara sipir dan tahanan. Siapakah sesungguhnya yang berkuasa, tahanan atau sipir? Kita tak perlu terdesak untuk cepat menjawab bahwa sipir lah yang lebih berkuasa dari tahanan. Pun sebaliknya, kita tak perlu terpaksa untuk mengatakan bahwa tahanan yang lebih berkuasa dari sipirnya. Hal ini mengingat sering kali relasi kuasa-menguasai ini berpindah tangan. Tahanan yang sudah sekian lama di dalam penjara dipastikan menguasai setiap jengkal dari kompleks tahanan yang ditempatinya. Tak hanya tempat, orang, kebiasaan, pola komunikasi, aturan-aturan nonbaku jauh lebih ia pahami dibandingkan dengan sipir yang baru masuk, dimutasi, atau promosi ke jabatan yang lebih tinggi. Kemampuan tahanan beradaptasi sekian lama dengan lingkungannya tidak jarang mendatangkan keuntungan baginya. Tak heran, banyak sipir yang menjadi "suruhannya" untuk berbagai keperluan. Dalam konteks ini, jabatan hanyalah simbol yang tak perlu berlaku dalam keadaan sebenarnya. Jika mau diterima, kondisi itulah yang dilakoni Kang Nug saat berhadapan dengan banyak Ketum yang datang silih berganti. Bukan dia yang diangkat, tetapi ketum-ketum tak punya pilihan lain untuk tidak mengangkatnya. Hal itu mungkin karena pola komunikasi, kode sandi, dan permainan dalam tubuh federasi begitu dikuasainya. Sejak tak lagi menjabat di PSSI, suara Kang Nug membincang sepakbola nasional memang semakin jarang terdengar, kecuali di kolom GoSport, media yang didirikannya. Tapi baru-baru ini, menyusul isu panas yang dilontarkan Halim Mahfudz yang kini dijadikan sebagai "common enemy" oleh orang-orang KPSI maupun media massa, Kang Nug bersuara. Suaranya cukup memancing senyum kecut. “Jadi jika Pak Halim menulis surat ke FIFA, yang ada FIFA malah ketawa. Yang punya kewenangan berhubungan dengan FIFA adalah Ketua Umum. Saya rasa tingkah Halim itu memalukan, seperti Sekjen yang tak tahu peraturan. Sekjen seharusnya menjadi ensiklopedia Statuta,” demikian katanya seperti dikutip inilah.com. Betul dikatakan Milan Kundera bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Bahkan Kang Nug sendiri pun telah lupa bahwa atas upayanya Nurdin Halid memimpin PSSI dari balik jeruji yang jelas-jelas menistakan statuta. Dari balik hotel prodeo, Nurdin Halid mampu berperan sebagai bos bagi sipir penjara, orang-orang PSSI termasuk Kang Nug, dan mampu mengelabui FIFA. Kang Nug menganggap diri paling paham aturan dan mendaku sebagai esiklopedia statuta berjalan. Banyak di antara kita yang kini lupa siapa dia, dan siapa orang orang yang kembali berkuasa di federasi kini. Duh! Salam, Pencinta sepakbola Indonesia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline