Lihat ke Halaman Asli

Chaizy Nasucha Isma Tarigan

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara

Post Truth Covid 19

Diperbarui: 8 Januari 2023   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meningkatnya penggunaan media digital sejak awal pandemi Covid-19 telah meningkatkan penyebaran hoaks di dunia maya. Fenomena tersebut telah melahirkan kebingungan di tengah masyarakat. Media sosial seperti Whatsapp, Instagram, Tiktok turut menjadi medium penyebaran itu.

Post-truth dapat diartikan sebagai fenomena menyebarnya disinformasi di tengah masyarakat. Ada tiga ciri utama post-truth, yaitu kebohongan, anti intelektualisme dan besarnya peran emosi. Emosi merupakan faktor terpenting dalam melihat post-truth. Oleh karena itu fakta objektif tidak memiliki pengaruh signikan untuk mengkonstruk opini publik. Faktor paling berpengaruh adalah emosi dan keyakinan personal yang dimiliki khalayak.

Kepercayaan masyarakat terhadap institusi telah berkurang, karena populasi umum lebih cenderung percaya bahwa institusi seperti akademisi atau media hanyalah platform yang digunakan oleh institusi untuk mencoba mengontrol narasi dalam masyarakat.

Di tengah krisis kepercayaan ini, era informasi saat ini adalah tempat berkembang biak yang sempurna untuk melestarikan berbagai narasi yang saling bersaing, ketidakpercayaan, kebingungan, sensasionalisme, polarisasi, dan menciptakan apa yang tampak seperti lingkungan “post-truth”.

Tidak diragukan lagi, media sosial memainkan peran besar dalam konsep “post-truth” ini. Namun terlepas dari semua informasi yang salah tentang virus COVID 19 yang beredar, pandemi ini telah mengungkap twist menarik berupa kebenaran yang muncul.

Media dapat kita salahkan dengan banyaknya kematian yang disebabkan oleh misinformasi yang disampaikan oleh mereka tentang virus covid 19, banyak masyarakat yang percaya dengan klaim klaim yang disampaikan oleh media media, dan pada akhirnya mereka meninggal karena tidak mau mengambil vaksin yang diberitakan berbahaya oleh media. Ini tragis, mereka telah disesatkan oleh orang-orang yang menyampaikan misinformasi dan mendapat untung dari menyebarkan informasi yang salah. Mereka tidak peduli siapa yang mati sebagai akibatnya. Dan ketika ada yang meninggal karena Covid, korban disalahkan karena memiliki penyakit bawaan.

Kita sebagai masayarakat harus bisa memilah informasi yang kita dapat dan tidak langsung percaya kepada berita berita yang muncul di media sosial kita, dan kita juga tidak perlu percaya dengan teori-teori konspirasi yang di keluarkan oleh orang orang, kita juga harus memberikan edukasi kepada orang-orang sekitar kita, khususnya orang orang yang sudah lanjut usia karena mereka belum mengerti tentang media sosial dan bisa saja langsung mempercayai informasi-informasi yang mereka dapat di media sosial.

Orang-orang dapat mengatakan apa yang ingin mereka katakan, tetapi tidak ada cara untuk berurusan dengan fakta sebenarnya.

Fakta-fakta seperti jumlah kasus, jumlah kematian, kebutuhan tempat tidur rumah sakit, ventilator yang dibutuhkan, dan masih banyak lagi.

SAY NO TO HOAX

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline