Lihat ke Halaman Asli

Digitalisasi dan UMKM Buku: Membuka Peluang atau Menutup Halaman?

Diperbarui: 21 Desember 2024   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Jogja selalu punya cerita dengan buku. Di kota yang dikenal sebagai pusat pelajar dan budaya ini, toko-toko buku kecil dan penerbit lokal pernah menjadi bagian penting dari denyut kehidupan warganya. Namun, belakangan ini, UMKM buku di Jogja mulai kehilangan sinarnya. Digitalisasi menjadi salah satu penyebab utama. Orang-orang kini lebih suka membaca e-book di ponsel atau mencari buku murah lewat marketplace besar, meninggalkan toko-toko kecil yang dulu ramai di sudut Malioboro atau Pasar Beringharjo. Hasil penelitian saya menunjukkan bahwa banyak pelaku UMKM buku di Jogja kesulitan bertahan, bahkan beberapa terpaksa gulung tikar.

Salah satunya adalah Bapak "A", pemilik sebuah toko buku bekas kecil di kawasan Kotabaru. Beliau telah menjalankan usaha ini selama 25 tahun. Dengan nada yang bercampur antara kelelahan dan kesedihan, beliau berbagi ceritanya. "Dulu, saya buka toko ini untuk mahasiswa dan pecinta buku. Mereka sering datang cari buku langka atau edisi murah. Sekarang, sehari kadang cuma ada satu atau dua orang yang mampir," katanya. Perubahan besar terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Bapak A, digitalisasi bukan hanya mengubah cara orang membaca, tetapi juga pola belanja mereka. Buku-buku bekas yang dulu menjadi alternatif murah kini tidak lagi menjadi pilihan utama. "Orang lebih suka cari file PDF gratis di internet atau beli di marketplace. Memang, itu lebih cepat dan praktis, tapi kami yang kecil-kecil ini jadi makin terpinggirkan," ungkapnya.

Kesulitan ini tidak hanya datang dari perilaku konsumen, tetapi juga dari tantangan internal. Toko-toko buku bekas seperti milik Bapak A tidak memiliki sumber daya untuk mengikuti arus digitalisasi. Membuat katalog online, memasarkan lewat media sosial, atau bergabung di platform e-commerce memerlukan modal yang tidak sedikit. "Kami ini sudah susah-susah bertahan dengan kondisi toko. Kalau disuruh masuk digital, kami tidak tahu harus mulai dari mana," ujarnya sambil tertawa kecil. Buku-buku yang ada di toko milik Bapak A sebagian besar berasal dari koleksi pribadi atau pembelian dari orang-orang yang ingin menjual buku lama mereka. "Banyak buku di sini yang punya nilai sejarah. Tapi sekarang siapa yang peduli? Anak muda lebih suka baca di layar ponsel daripada cari buku di rak," katanya. Ia menunjukkan sebuah buku edisi lama karya sastrawan terkenal yang sudah bertahun-tahun tak tersentuh pembeli.

Pergeseran ini membawa dampak psikologis yang besar bagi Bapak A dan pelaku usaha sejenis. "Kadang rasanya seperti tidak ada yang menghargai usaha kami. Padahal buku-buku ini punya cerita panjang, dan toko seperti kami adalah bagian dari sejarah Jogja sebagai kota pelajar," tuturnya. Tidak sedikit pemilik toko buku bekas yang memilih menutup usaha mereka karena merasa tidak ada lagi masa depan di tengah derasnya arus digitalisasi. Namun, bukan berarti tidak ada upaya untuk bertahan. Beberapa pelaku UMKM buku bekas mencoba mengadakan acara diskusi kecil atau klub baca di toko mereka. Sayangnya, itu pun tidak selalu efektif. "Kami pernah coba adakan acara untuk menarik perhatian pelanggan, tapi yang datang sedikit. Orang-orang sibuk, mereka lebih memilih acara yang diadakan online," katanya.

Bapak A juga pernah mencoba menjual buku lewat marketplace, tetapi hasilnya tidak memuaskan. "Di sana kami bersaing dengan toko besar yang bisa kasih diskon besar-besaran. Kalau kami pasang harga terlalu murah, ya tidak untung," jelasnya. Persaingan tidak sehat ini membuat toko kecil semakin sulit bertahan di tengah gempuran raksasa e-commerce. Bagi Bapak A, digitalisasi terasa seperti ancaman yang tidak bisa dilawan. "Kalau toko besar punya modal besar untuk masuk ke digital, kami hanya bisa bertahan di tempat. Kami ini ibarat kapal kecil yang terombang-ambing di tengah badai," katanya. Dengan penghasilan yang semakin menurun, ia bahkan mengaku kesulitan untuk membayar sewa toko.

Namun, di balik keluhan dan kesedihannya, Bapak A tetap berharap ada solusi yang dapat menyelamatkan toko-toko buku bekas di Jogja. "Kalau pemerintah atau komunitas literasi mau bantu kami, mungkin kami bisa bertahan. Kami butuh pelatihan teknologi atau dukungan pemasaran. Jangan biarkan kami tenggelam," harapnya. Toko buku bekas di Jogja bukan sekadar tempat jual beli, tetapi juga ruang pertemuan budaya dan literasi. Mereka menyimpan sejarah dalam bentuk buku-buku lama, yang kadang tidak bisa ditemukan di tempat lain. "Buku-buku ini seperti saksi zaman. Kalau toko kami tutup, siapa yang akan menjaga mereka?" tanya Bapak A sambil memandang rak-raknya.

Di kota yang dikenal dengan sebutan kota pelajar, keberadaan toko buku bekas seharusnya menjadi kebanggaan. Namun, saat ini mereka justru menghadapi ancaman serius. Jika tidak ada perhatian serius dari pihak terkait, bukan tidak mungkin toko-toko ini akan tinggal kenangan.

Jogja harus memutuskan: apakah akan membiarkan halaman terakhir dari toko buku bekas ditutup, atau justru menulis babak baru untuk menyelamatkan mereka. Dukungan teknologi, kolaborasi komunitas, dan kebijakan yang berpihak pada UMKM bisa menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa cerita Jogja dengan buku tidak berakhir di sini. Sejak membuka toko buku pada tahun 1998, usaha ini pernah menikmati masa-masa kejayaan. Mahasiswa dan masyarakat umum memenuhi toko, mencari buku pelajaran, referensi akademik, atau sekadar bacaan ringan. Kehadiran toko buku independen seperti ini menjadi bagian penting dari kehidupan kota pelajar seperti Jogja. Namun, perlahan tetapi pasti, digitalisasi mulai mengubah kebiasaan pembaca dan pola belanja masyarakat.

"Dulu tempat ini ramai, tapi sekarang kondisinya berbeda. Orang-orang lebih memilih membeli buku secara online," katanya. Perubahan ini sangat terasa dalam beberapa tahun terakhir, terutama ketika pandemi COVID-19 melanda. Pembatasan aktivitas fisik dan lonjakan penggunaan platform digital membuat toko buku fisik kehilangan banyak pelanggan. Sebelum pandemi, tokonya biasa buka hingga pukul 9 malam, tetapi kini ia hanya bertahan hingga sore karena minimnya pengunjung. 

Selain itu, e-book menjadi salah satu tantangan bagi penjualan buku fisik. Faktor yang paling utama adalah harganya yang lebih terjangkau dari buku fiksi. E-book umumnya dijual dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan buku fisik. Hal ini dapat membuat konsumen lebih tertarik untuk membeli e-book karena lebih ekonomis. Beberapa orang cenderung memilih e-book sebagai alternatif untuk menghemat uang. Yang kedua, kemudahan akses dan praktis. E-book dapat diunduh dan dibaca langsung di perangkat digital seperti ponsel, tablet atau e-reader. Ini memberikan kenyamanan bagi pembaca yang tidak perlu pergi ke toko fisik atau menunggu Pengiriman untuk mendapatkan buku, serta menghemat ruang fisik di rumah. Dengan distribusi digital, e-book dapat dijual dan diakses secara global dalam waktu singkat. Hal ini memberi keunggulan bagi e-book dalam hal distribusi dan menjangkau pasar yang lebih luas, sementara buku fisik membutuhkan biaya pengiriman dan logistik yang lebih tinggi. Perubahan pola konsumsi pembaca, hal ini membuat perubahan preferensi pembaca yang semakin menyukai membaca dalam bentuk digital yang mana dapat mempengaruhi penjualan buku fisik. Konsumen mungkin merasa lebih nyaman dengan e-book, mengurangi minat terhadap buku fisik. Meskipun tantangan ini ada, buku fisik masih memiliki pasar yang setia karena nilai sentimental, koleksi, serta kebutuhan beberapa pembaca untuk merasakan pengalaman membaca yang lebih mendalam melalui media fisik.

 Meskipun sudah memasuki era digital, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah pembajakan buku masih meraja lela. Pembajakan buku merupakan suatu usaha memperbanyak suatu buku dengan cara mencetak, memfotokopi, atau cara lainnya tanpa memperoleh izin tertulis dari pengarang dan penerbit buku yang bersangkutan. fenomena pembajakan buku di masa pandemi covid-19 semakin memperburuk industri buku asional. Penerbit mengalami penurunan penjualan buku fisik di toko offline, sedangkan penjualan online dibayangi oleh masalah pembajakan karya literasi. peringkat pembajakan khususnya hak cipta di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia. Dengan semakin berkembangnya informasi dan teknologi saat ini, kasus pembajakan buku semakin banyak terjadi dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. pembajakan di indonesia seakan sudah menjadi budaya yang sulit diatasi. Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap buku dan minat baca mengakibatkan perlindungan hak cipta kurang diperhatikan. Meskipun sudah ada undang-undang yang mengaturnya, pembajakan buku semakin menjamur di masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline