Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Pungli Rutan KPK, Kemana lagi Masyarakat Harus Percaya?

Diperbarui: 13 Juli 2023   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : pixabay

Praktik pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan KPK mencuat setelah Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan adanya praktik dalam lingkungan rutan lembaga tersebut. Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean mengklaim, temuan ini muncul atas dasar inisiatif yang dilakukan Dewas. Ada dua unsur pelanggaran yang menjadi sorotan, sakni dugaan pelanggaran etik dan unsur tindak pidana pelanggaran Pasal 12C UU 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2021. Praktik pungutan liar tersebut mencapai nominal 4 miliar rupiah terhitung sejak Desember 2021 hingga Maret 2022.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman memandang bahwa mencuatnya kasus dugaan pungli di rutan KPK justru bukti adanya tebang pilih Dewas KPK dalam bertindak tegas. Sebab sikap berdeda terjadi dalam kasus Lili Pintauli Siregar, sementara cukup mudah dalam menangani pegawai level rendah. Sementara bagi mantan penyidik KPK Novel Baswedan, temuan kasus pungli tersebut sudah dilaporkan oleh penyidik KPK namun tidak ada tindak lanjut dari Dewas KPK. Barulah setelah hal ini disinggung Novel di sebuah Podcast, Dewas mulai bertindak.

Fenomena yang menimbulkan keprihatinan besar dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini adalah maraknya korupsi. Korupsi telah menjadikan Indonesia salah satu negara paling korup di dunia. Fakta ini sangat ironis jika dipadukan dengan keberadaan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Bahkan, umat Islam negeri ini dianggap sebagai umat Islam yang paling khusyuk dalam melakukan upacara ritual keagamaan.

Padahal sejatinya Islam hadir di muka bumi sebaai pembebas kehidupan dari ketidakadilan. Hal ini terjadi sebab apa yang dibawa Islam nyatanya tidak diterapkan oleh para pemeluknya termasuk para pemangku jabatan. Bahkan banyak dari umat Islam tersebut, tidak mengenal konsep Islam yang sebenarnya yang menjadi pemegang kekuasan, bukan sekadar mengatur ibadah ritual.

Korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum Islam dapat diklasifikasikan kepada kategori khiynah atau ghull (pengkhianatan), al-ghasy (penipuan), dan risywah (suap). Ungkapan khiynah juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu'amalah. Ghull adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu, penyalahgunaan terhadap amanah hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela.

Al-Qur'an sangat tidak setuju dengan penipuan dalam bentuk apapun. Penipuan digambarkan oleh al-Qur'an sebagai karakter utama kemunafikan, dimana al-Qur'an telah menyediakan siksa yang pedih bagi tindakan ini, di dalam neraka. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat al-Nisa' [4]: 145.

"Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka."

Secara harfiah, suap (risywah) berarti "batu bulat" yang jika dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun. Jadi suap bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut Ibrahm al-Nakha', suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran.

Sanksi yang dikenakan terhadap tindak pidana korupsi berbeda-beda sesuai dengan tingkat kejahatannya. Mulai dari sanksi materil, penjara, pemecatan, cambuk, penangguhan hak tertentu hingga hukuman mati. Mengapa itu bervariasi? Karena kejahatan yang satu ini tidak memiliki nash qath'i. Artinya, sanksi syariah dalam hal ini bukanlah paket yang siap pakai dari Allah SWT. siap digunakan. Dalam hal ini, sanksinya termasuk sanksi ta'zir, dimana hakim (imam/pemimpin) diberi kewenangan penuh untuk mengambil keputusan. Tentu saja, sanksi-sanksi tertentu berlaku sesuai dengan ketentuan hukum Syariah dan sesuai dengan kondisi Syariah waktu dan tempat di mana kejahatan itu dilakukan.

Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar sanksi terhadap koruptor dibatasi dan ditahan dalam waktu yang sangat lama. Zaid bin Thabit menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang korup, yaitu larangan (penjara) atau hukuman yang bisa dijadikan pelajaran bagi orang lain. Sedangkan Qatadah menyebutkan bahwa hukumannya adalah penjara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline