Lihat ke Halaman Asli

Potret Khalwat

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

POTRET itu masih terpampang dengan aman sentosa, tidak banyak yang menyadari atau memprotesnya. Bahkan kemudian menjadi suatu pemandangan yang membanggakan bagi setiap warga atau menjadi “penampakan” yang pertama terlihat oleh para tamu dari luar Aceh yang menggunakan jasa bus umum, sebelum memasuki terminal terbesar di kota ini. Ironisnya, dibawah potret tersebut tertulis “Selamat Datang di Kota Bandar Wisata Islami”. Padahal bukankah sebuah potret “mesra” yang notabene-nya bukan suami-istri, itu dilarang dalam agama? Seperti halnya yang pernah diharamkan oleh MUI terhadap foto pre-weeding, karena dianggap tidak Islami. Bukankah hal yang sama juga terlihat dalam potret itu, di mana kedua pemimpin yang bukan muhrim itu terlihat begitu “rapinya” duduk berdampingan dan bersentuhan bahu dengan baju kebesaran sebagai pemimpin negeri ibu kota Serambi Mekkah ini. Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengkritisi, apalagi meruntuhkan popularitas sang pemimpin kota yang menjadi cover dalam potret tersebut. Namun penulis ingin sedikit “menggelitik” para penguasa tersebut dan para warga kota, bahwa bahwa ide yang diusung dengan “simbol” yang dipromosikan menurut penulis sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Islami. Kisah Gusdur Pada tahun 2000-an, Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdus) pernah dihebohkan dengan beredarnya foto mesra Gusdur dengan Aryanti. Sehingga kredibilitas Gusdur sebagai salah satu tokoh umat Islam, dan sebagai simbol ulama bagi warga Nahdiyiin khususnya, tercemar dan dicaci maki oleh sebagian rakyat. Padahal dalam kenyataannya, foto itu adalah hasil sebuah rekayasa digital, yang tidak pernah diinginkan oleh sang Presiden. Namun dalam pandangan publik, foto tersebut telah menimbulkan suatu pandangan yang tidak layak, atau lebih tepat dapat dikatakan telah menjadi suatu “fitnah” terhadap kepemimpinannya. Dalam konteks potret promosi “kota Bandar Islami”, meskipun tidak semesra seperti foto “fitnah” Gusdur, dan juga merupakan hasil proses rekayasa digital. Namun sebagai masyarakat awam, biasanya tidak semua tahu mengenai proses itu, melainkan mereka akan melihat pada hasil yang telah terpampang tersebut. Bahkan pajangan potret tersebut juga dilakukan secara resmi dan formal. Sehingga kita patut bertanya, bukankah selayaknya potret itu tidak harus berdampingan dan bersentuhan bahu? Layaknya suami-istri? Kenapa tidak didesign duduk berjauhan, satu di sisi kanan, dan yang lain di sisi kiri? Sehingga akan lebih sesuai dan layak dengan kata-kata promosi di bawahnya, yaitu “Kota Bandar Wisata Islami”. Atau sebaliknya, itukah potret sebagai simbol islami yang ingin dipromosikan? Potret “Khalwat” Meskipun dalam qanun No.14 tahun 2003 tentang khalwat, tidak diatur menganai batasan sebuah foto dan begitu juga tidak ada hukuman bagi foto yang tidak islami [bukan kategori porno]. Namun harus disadari bahwa secara tidak langsung sebuah foto juga tidak terlepas dari cerminan sebuah perbuatan. Jika sebuah perbuatan khalwat [bersepi-sepian berdua] dapat dihukum, maka selayaknya potret khalwat  juga dapat dihukum? Dalam Islam, pengharaman terhadap perbuatan khalwat, karena dikhawatirkan akan ada pihak ketiga [setan], dan pihak ketiga tersebut akan dapat menjerumuskan para pihak kepada perbuatan perzinaan. Nabi saw pernah bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad). Namun karena dalam konteks ini bukanlah sebuah perbuatan, sehingga tidak menjerumuskan kepada zina. Melainkan hanya sebuat potret “berdua-duaan” yang terpampang siang dan malam [sunyi], maka jika dibiarkan penulis khawatir bahwa akan ada penampakan pihak ketiga [syaitan] yang akan menemani potret tersebut? Faktor yang kedua adalah, ketika menggunakan kata-kata wisata islami. Ironis, ketika potret “khalwat” itu menjadi icon kota Bandar wisata islami. Sehingga ia menjadi dua hal yang saling bertolak belakang. Inilah yang sering terjadi, ketika perbuatan atau cerminan perbuatan tidak sesuai dengan perkataan yang diucapkan. Sehingga Islam dan syariat itu terasa hanya menjadi bahan untuk memper-olok-olok saja. Islam telah menjadi trend mark untuk sebuah promosi, padahal secara esensi dan nilai, hal tersebut sama sekali tidak islami. Banyak contoh cerminan perbuatan yang tidak Islami. Misalnya; Praktik membuang sampah sembarangan, padahal Islam mengajarkan kebersihan bahkan kebersihan itu setengah dari keimanan; Praktek korupsi dan kolusi dalam proses tender pembangunan. Padahal Islam mengatakan bahwa pencurian dan kecurangan itu adalah perbuatan haram dan berdosa; dll. Perbuatan tersebut terus terjadi di kota yang katanya Bandar wisata islami ini. Selain itu, meskipun kemudian potret itu dikatakan hasil sebuah rekayasa digital. Namun dalam hukum Islam, ada beberapa perbuatan, tindakan dan kondisi yang dapat mengharamkan suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan. Perbuatan atau peristiwa itu dikenal dengan syaddud zara’i. Menurut Imam al-Syathibi, Saddud Zara’i adalah: “melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan, tapi kemudian menuju kepada suatu kemafsadatan”. Contohnya, memajang foto adalah mubah (boleh), akan tetapi ketika foto tersebut dapat menimbulkan fitnah [mafsadah] dalam masyarakat, maka foto tersebut menjadi dilarang. Ini menjadi dalil dalam penemuan sebuah hukum (ushul fikih), yang dijadikan sebagai landasan dalam hukum Islam. Inilah beberapa hal yang tanpa didasari, bahwa sebuah perbuatan yang mungkin bertujuan suci namun tanpa ada landasan dan pengetahuan, telah menimbulkan sesuatu yang kontradiksi dengan apa yang dipromosikan. Keteladanan seorang pemimpin Islam harus diwujudkan dalam segala praktik perbuatan, perkataan dan gaya hidupnya. Karena harus diakui bahwa keteladanan seorang pemimpin tercermin dari moralitas yang ditampikannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga potret “khalwat” dengan kata-kata “selamat datang di kota Bandar wisata Islami” benar-benar sesuai dengan nilai dan esensi Islam. Artikel ini telah dipublish di http://serambinews.com/news/view/38104/potret-khalwat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline