Lihat ke Halaman Asli

"Storytelling" Bumi Manusia

Diperbarui: 23 Desember 2017   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

INI tulisan saya yang pertama di Kompasiana. Itupun karena sebuah tantangan yang datang dari Mbak Tria Cahya Puspita, salah seorang penulis di Kompasiana.

Waktu itu dia menantang untuk membuat resensi buku. Tidak tanggung-tanggung resensi yang diminta adalah Bumi Manusia.

Awalnya, saya ragu karena saya tidak biasa menulis resensi. Jadi, tulisan yang ada sekarang ini boleh dikatakan jauh dari standard penulisan resensi. Apalagi, resensi buku yang sempat dilarang dibaca pada zaman Orde Baru ini sudah banyak bertebaran di dunia nyata dan dunia maya.

Oh iya, tantangan yang diberikan sebetulnya hanya seminggu. Bahkan, sudah berapa kali ditagih si pemberi tantangan. Jadi mohon maaf Mbak Tria, saya melakukan wanprestasi.

Bukan tanpa sebab kenapa lama. Kesibukan dan tugas akhir tahun yang harus ditutup dengan "mulus" ditambah hasrat memotret Gunung Agung sebagai dokumentasi pribadi, tulisan inipun tersendat proses kemunculannya.

***

Sebetulnya, Bumi Manusia bukan buku Pramoedya yang pertama kali saya baca. Buku pertama Pram (panggilan pendek Pramoedya Ananta Toer dan ada juga yang menginisialkan menjadi PAT) justru Korupsi. Saya baca buku itu pada zaman SMA. Hanya saja, tidak sampai kelar karena buku pinjaman.

Selanjutnya, Perburuan yang berkisah tentang Hardo seorang anak wedana yang hidup menggelandang karena menjadi incaran tentara Jepang. Buku ini saya baca setelah tamat SMA.

Bumi Manusia sendiri baru saya baca pada 2008. Kebetulan saat itu sudah bisa beli buku sendiri. Bumi Manusia yang ada di tangan saya itu terbitan Lentera Dipantara, cetakan ketiga belas. Tebalnya hampir dan mungkin sampai 600 halaman.

Bumi Manusia sendiri merupakan bagian pertama tetralogi Buru yang dikarang Pram. Cerita pada buku ini masih ada kelanjutannya pada Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan yang terakhir Rumah Kaca.

Dikatakan Tetralogi Buru karena proses lahirnya memang di Pulau Buru, Kepulauan Maluku, tempat Pram dipenjara pemerintah Orde Baru tanpa proses persidangan sama sekali. Di tempat inilah, atas dukungan teman-temannya sesama tahanan politik, Pram melahirkan karya-karya yang dia sebutnya sebagai "Anak-anak Rohaninya".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline