Saya menulis ini setelah memblok lebih dari 50 akun Line yang menshare berita tentang Kekerasan di Rakhine lalu melabelinya seakan-akan ini merupakan konflik beragama, seakan-akan ini merupakan perang antara Budha Vs Islam, bahkan sampai ada ajakan "Mengepung" Candi Borobudur dengan aksi damai.
Tanpa mengurangi rasa perihatin saya pribadi terhadap kekerasan yang dialami etnis Rohingya saya ingin mengkritisi keperihatinan kita terhadap kekerasan itu lebih dikarenakan keterikatan kesamaan agama, lalu apakah kita akan diam begitu saja jika situasi yang terjadi berbalik?. atau mungkin yang menjadi objek kekerasannya berbeda agama dengan kita?. saya ingin mempertanyakan lagi apakah kita akan melakukan aksi yang sama melakukan tindakan yang sama, menunjukan keperihatinan yang sama atas dasar sesama manusia yang ingin diperlakukan layak dan adil, bukan karena sesama muslim, sesama kriten, sesama budhis, dan kesamaan sempit lainnya.
Saat ini saya sering melihat taggar dimedsos soal Rohingya #stopmoslemgenocide pertanyaannya adalah apakah sebagai muslim kita akan diam jika terjadi genosida terhadap agama lain? akankah diam saja jika Rohingya bukanlah penganut Islam, akankah kita duduk manis didepan tv dan menganggapnya berita lalu, seperti genosida yang dialami etnis Yazidi di Irak?
Bukankah dalam Al-Maidah ayat ke-32 disebutkan
"Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi."
Mungkin ada yang bertanya kenapa saya memberikan Judul Tionghoa Indonesia dan Rohingya Burma dalam tulisan ini, karena kita harus mengerti yang terjadi disana, Kenapa bukan hanya pemerintah saja yang abai terhadap keberadaan etnis Rohingya, tetapi juga kebanyakan warga Burma sendiri terutama di Rakhine.
Rohingya sendiri memang merupakan pendatang ini dilihat dari bahasa ibu mereka yang merupakan bahasa indo-arya, tidak seperti burma yang merupakan indo-sino, namun mereka sudah berada disana sejak abad ke-15 saat Rakhine masih bernama Arakan, dan pada saat itu banyak bukti sejarah menunjukan mereka hidup berdampingan secara harmonis, bahkan setelah kerajaan Burma mencaplok Arakan, hubungan Rohingya dengan etnis asli Arakan tetaplah berjalan baik meskipun ditetapkan politik diskriminasi oleh kerjaaan Burma saat itu.
Pada saat Inggris Menganeksasi Arakan mulailah terjadi gesekan, Pada tahun 1826 Inggris mendatangkan tentara dan buruh tani dari Bengal, Pertambahan jumlah pendatang yang besar dalam waktu singkat tidak disertai dengan asimilasi budaya menyebabkan sering terjadi perselisihan antara penduduk lokal dengan pendatang.
Konflik tersebut semakin terpolarisasi dan bukan hanya melibatkan Rohingya dan Rakhine tetapi juga etnis lain di Burma yang mayoritas Budha.
Pasca Kemerdekaan Burma Arakan adalah derah paling miskin di Burma, Pada tahun 1982 Pemerintah Burma tidak memasukan Rohingya dalam etnis asli Burma dalam Hukum Kewarganegaraan, sehingga status mereka adalah pendatang. Arakan sendiri berganti nama menjadi Rakhine sesuai nama etnis mayoritas yang mendiaminya.