Karena tertarik pada sebuah poster diskusi yang beberapa waktu lalu dibagikan di Instagram, saya menghubungi pihak panitianya dan menanyakan apakah saya boleh menghadiri kegiatan tersebut. "Silahkan, mas," jawabnya. "Kami tunggu". Saya berterima kasih dan kemudian membagikan poster itu -- melalui pesan WhatsApp -- kepada teman saya, Alfitrawi, mahasiswa STAIN SAR, dengan keterangan; "Datanglah! Ini pasti menarik".
Itu adalah poster diskusi sastra di ruang publik, diadakan oleh kantor Bahasa Kepri, dengan narasumber Yoan S. Nugraha dan Aam Sabarmen. Mereka akan membahas seputar Sastra Rakyat, Dongeng, dan BM. Samsudin. Mengenai waktu dan tempat pelaksanaan, kita bisa meringkasnya seperti ini: Kamis, 16 Februari 2023, Di Kafe Temu Bual, Tanjungpinang, Pukul 19.30 s.d 22.00 (WIB).
Mengenakan baju kaos putih dan celana polo hitam, malam itu saya pergi ke kafe tersebut dan disambut oleh lagu Melayu dan seorang perempuan dengan kualitas senyum yang sukar dilupakan. Ia berkulit mulus dan bermata indah, berdiri di dekat dua meja kecil di samping pondok utama. Dengan gerakan tangan yang lembut dan pelahan, ia lalu mengarahkan saya ke satu titik -- ke tempat itulah saya ayunkan langkah.
Sekilas, kafe ini terdiri dari pondok-pondok kecil dengan empat tiang penopang dan langit-langit rendah. Setip pondok diisi dengan kursi-kursi dan meja panjang yang terbuat dari kayu. Langit-langitnya yang rendah juga dihiasi bohlam lampu dalam jumlah banyak. Pendar cahayanya berwarna kuning. Namun ketika saya sudah duduk di titik yang ditunjukkan oleh perempuan tadi, dan sampai beberapa menit kemudian, belum ada tanda-tanda bahwa diskusi segera dimulai. Kursi-kursi yang tertata dekat layar di panggung utama, tempat bermacam peralatan elektronik dan kabel-kabel yang menjalar seperti pohon Markisa, juga masih kosong. Yang ada hanya perempuan penyambut tamu tadi, empat orang anak kecil di sudut belakang, dua orang laki-laki di depan saya, lalu ibu-ibu dan para pelayan yang tampak mondar-mandir di bagian dapur... .
Lagu Melayu tadi tiba-tiba terhenti, lalu seorang pemuda yang agak gemuk dan tampak bersemangat mengambil mikrofon dan menyapa semua pengunjung kafe. Orang ini pasti M. Akbar Prasetiyo, pikir saya, sebab wajahnya ada di dalam poster. Ringkasnya; ia mengawali pembicaraan dengan mengungkapkan kekhawatirannya akan jumlah peserta yang hadir, lalu memperkenalkan Bapak Rahmat, S. Ag., M. Hum., Kepala Kantor Bahasa Kepri. Ia bertubuh kecil dan memakai peci hitam. Suaranya jelas, tegas, tetapi tidak terburu-buru. Jika M. Akbar membuka percakapan dengan mengungkapkan kekhawatirannya, Rahmat berharap agar kegiatan ini tetap berlanjut dan bermanfaat bagi siapa saja.
Selama diskusi berlangsung, saya menyimak dengan ketekunan seorang penambang biji timah yang menggoyang-goyangkan dulangnya. Yoan S. Nugraha memulai diskusi dengan menampilkan slide artikelnya mengenai BM. Samsudin, "Menyibak Tabir B.M. Samsudin Dengan Kacamata Hipnosis", yang terbit di kolom Tajar pada 11 Februari lalu, dan mengakhirinya dengan kutipan Albert Einstein: "If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales". Aam Sabarmen, dengan pembawaan diri yang santai dan terkesan tidak tergesa-gesa, memulai presentasinya dengan menirukan suara helikopter, salah satu tehnik mendongeng, bidang yang ia geluti.
Diskusi semacam itu tentu tidak akan kau temukan di tempat kelahiran saya di Dabo Singkep, di mana orang-orang dewasanya lebih senang mengusap-usap layar gawai, menghabiskan berjam-jam untuk memainkan permainan online, menonton video-video singkat, atau larut dalam percakapan sampai tengah malam. Soal apakah mereka melakukannya sambil merokok atau tidak, itu urusan lain. Yang jelas, anak-anak yang tumbuh di antara para orang dewasa semacam itu akan 'sulit' berkembang, sebab lebih mudah bagi mereka untuk melakukan hal yang -- kurang lebih -- sama ketimbang memulai sesuatu yang baru.
Jika kita menyepakati kutipan Albert Einstein tadi, saya kira ada baiknya bila para orang tua mulai mengatur waktu untuk membacakan cerita-cerita bagus kepada anak-anak mereka. Semakin banyak cerita yang dibacakan, atau semakin banyak dongeng yang disampaikan, tentu akan semakin baik. Selain untuk menumbuhkan keakraban, membacakan cerita atau mendongeng juga merupakan cara menanamkan sugesti (positif). Anton Chekhov, salah satu maestro cerpen yang menjalani masa kanak-kanak yang keras, juga sering mendengar ibunya membacakan cerita. Eudora Welty juga begitu. Hamid Basyaib bahkan menuliskan buku, Love Letters From a Father, sebagai hadiah ulang tahun untuk anaknya, Alma.
Kita tentu bisa menemukan nama-nama sejumlah tokoh besar yang sejak kecil akrab dengan cerita, termasuk Albert Camus dan Agatha Christie, tetapi yang paling penting adalah ini: Kita perlu memiliki kebiasaan membaca sebelum menularkan kebiasaan itu kepada anak-anak. Sebaliknya, jika kita lebih senang mengusap-usap layar gawai sampai mata terasa perih, atau sampai bateri gawai turun hingga 0%, maka anak-anak akan mendapat sugesti dari orang lain, dari video-video yang mereka tonton, dari lagu-lagu yang mereka dengar, yang pada akhirnya menjauhkan mereka dari buku. Namun jika keadaan semacam itu tidak membuat kita resah, tidak membuat kita bertanya apa dan bagaimana, artinya semua masih baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan tentang masa depan anak-anak.
Akhirnya, sekitar pukul sepuluh malam, ketika diskusi memasuki sesi tanya jawab, saya tidak melihat Alfitrawi di sudut manapun. Agaknya ia lupa dengan poster yang saya bagikan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H