Setelah sepuluh tahun mengajar penulisan nonfiksi dan membaca ratusan naskah, M.L Stein menyimpulkan beberapa penyebab yang membuat para penulis pemula, termasuk saya, gagal menjadi penulis lepas dengan status freelance sukses. Karena itu, agar teman-teman tidak mengalami hal yang sama seperti yang saya alami, (saya pikir) ada baiknya bila saya membagikan beberapa nasihat Stein soal penulisan nonfiksi.
Pertama, membaca artikel-artikel terterbitan majalah (media), tempat di mana kita akan mengirimkan artikel. Dengan kata lain, membaca untuk mempelajari gaya dan struktur penulisan yang disukai oleh redaktur majalah tersebut. IDN Times Community, misalnya, secara otomatis mengharuskan para kreatornya membuat lima subjudul dalam artikel mereka -- di samping menambahkan gambar, memasukkan sumber gambar, dan ditutup dengan kesimpulan yang kuat.
Jika kita bukan penulis terkenal dan menulis di IDN Times Community tanpa menghiraukan panduan tadi, kemungkinan besar artikel kita terbit di bagian pending. Atau, yang paling buruk; rejected. Bagaimana dengan majalah lain? Bobo, kita tahu, khusus untuk pembaca anak-anak; Femina mengedepankan urusan perempuan; dan Historia selalu mengulas soal sejarah.
Beberapa keterangan di atas, tentu saja, tidak menunjukkan gaya penulisan macam apa yang disukai oleh redakturnya. Ia lebih kepada jenis artikel yang terbit di media tersebut. Maksud saya, jika teman-teman ingin mempelajari gaya penulisan yang disukai oleh redaktur sebuah majalah (media), maka teman-teman perlu membaca tulisan-tulisan yang terbit di majalah tersebut.
***
Well, mari kita lihat apa-apa saja nasihat Stein soal penulisan nonfikasi.
Kamu Tidak Bisa Menulis Artikel Dengan Hanya Berdiam Diri Di Rumah
Saya cukup yakin bahwa Stein menulis pesan tersebut sebelum ia menge Facebook dan Youtube. Tapi ia masih relevan; kita tidak selalu bisa menulis artikel dengan hanya mengandalkan ingatan pada pengalaman pribadi maupun pengalaman anggota keluarga kita, orang-orang terdekat kita, atau seseorang yang kemarin sore nyaris tak tergantikan. Bahwa pengalaman pribadi bisa menarik perhatian redaktu, ya! Kenapa tidak?
Menurut Stein, untuk menulis sebuah artikel, kita perlu pergi ke perpustakaan dan membaca beberapa buku, menemui narasumber, atau, seperti yang sering saya lakukan; menelusuri situs-situs yang ada di Google.
Intinya kita tidak berdiam diri seperti pertama; kita mesti bergerak untuk menjemput data dan fakta, di manapun ia berada.
Membumbui Artikel Dengan Anekdot
Kemampuan membuat lelucon atau humor sebenarnya hampir naluriah. Kita melakukannya begitu saja. Karena itu, ia tidak mudah untuk diajarkan. Namun saya yakin setiap kita pernah membuat lelucon atau guyonan yang membuat teman-teman kita tertawa karenanya. Dalam penulisan kita -- sedapat mungkin -- juga perlu menghadirkan humor yang sesuai dengan konteks, sebab ia akan membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan. Saya sendiri merasakan pengalaman itu ketika, misalnya, membaca buku Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat.
Dulu, calon presiden Amerika, Ronald Reagan, pernah menyewa seorang penulis profesional untuk menyindir petahana Jimmy Carter, yang dianggap lamban dalam mengambil keputusan. Penulis bayaran itu menulis seperti ini: