Lihat ke Halaman Asli

Pahitnya kehidupan

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lelaki paruh baya itu duduk sendirian didepan pintu rumah, tepat dibawah tangga.Tangan sekali bergerak mengambil mengelas yang berisi kopi. Ini menjadi kebiasaan bagi dirinya untuk mengisi paginya dengan keindahan. Beberapa menit kemudian wajahnya mulai berubah menjadi murung dan termenung, tidak tau apa yang dia pikir, entah itu menunggu surat kabar yang belum datang atau sedang memikir kondisi politik. Rawut wajah menyimpan beribu tanda tanya, kadang Sekali-kali tersenyum kecil sambil menghembus asap rokok. Mulutnya selalu bergerak, tetapi tidak tau apa yang di ucapkan.

Jam menunjukan sekira pukul delapan pagi. Dia belum beranjak dari tempat duduknya, biasanya jam tujuh pagi dia sudah pergi dari rumah menuju tempat kerja, tetapi hari itu dia tidak pergi dari rumah, entah di ambil cuti atau memang dia meliburkan diri dari pekerjaan.

Tidak lama berselang tukang kurang datang menghampirinya, sambil mengucapkan, ini Koran saya antar untuk bapak. kayaknya berita sangat menarik terkait situasi politik. Lelaki paruh baya itu tetap diam seribu bahasa dan tidak merespon apa yang di ucapkan oleh tukang Koran itu. Namun, tukang Koran itu tetap berdiri disampingnya untuk menyaksikan apa yang di ucapkantentang situasi politik hari ini.

Pandangan lelaki itu tertuju pada halaman muka Koran, lalu hembusan nafas begitu besar, seakan-akan ada yang salah dalam berita itu, sekali-kali pandangannya melihat sangit. Lalu pertanyaan diucapkan dengan kata –kata puitis kepada tukang Koran, “bunga itu rupanya cantik juga ya tapi kenapa bunga itu tidak ada yang rawat”.tanyanya.

Tukang koran itu mulai bingung dengan pertanyaan lelaki tua tersebut, sebab dihalaman rumahnya tidak kelihatan bunga yang cantik, hanya rumput yang sudah mulai menguning disudut pintu pagar rumah, dia langsung menjawab dengan ucapan polos, bunga yang mana pak?, selama saya mengantar Koran kerumah bapak tidak penah saya lihat ada bunga.

Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan tukang Koran tersebut, hanya saja mengatakan, kamu kenal yang namanya usman, tanya lelaki itu, tukang Koran menjawab tidak kenal pak. Aku adalah usman yang sudah lama di asingkan oleh sejarah. Lanjutnya. Emang kamu siapa nama, Asbase nama saya, jawab tukang Koran.

Untuk apa bapak tanya nama saya, ucap tukang Koran. Usman menjawab, saya menanyakan nama kamu biar kita lebih akrab selaku manusia ciptaan tuhan. Asbase mulai terharu mendengar kata-kata dari usman.

Sudah Berapa lama kamu kerja jadi tukang Koran, hampir tiga tahun jadi tukang Koran, pekerjaan ini sangat saya cintai karena bisa membantu kebutuhan hidup saya sebagai mahasiswa.

Wow..Bagus sekali semangat mu, aku salut dengan perjuanganmu, tetapi kamu harus ingat satu hal dalam kehidupan ini yaitu menyangkut dengan proses kehidupan, semua yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Namun, hidup ini harus terus kita lalui supaya bisa menemukan bagaimana pahit manisnya kehidupan. Ucap usman sambil menikmati kopi. Tapi kita juga harus mengingat tentang masa lalu sedikit saja.

Kamu sebagai mahasiswa dan tukang Koran, coba kamu perhatikan bagaimana perkembangan situasi politik di negeri yang juluki serambi mekkah itu. Saya selaku orang yang pernah bekerja dipemerintahan saja sudah bosan dengan sikap mereka.

Padahal, kalau mereka mau menerima perbedaan dalam pertarungan politik, saya rasa tidak pernah menjadi persoalan separah ini, hanya saja mereka melakukan itu hanya pandai mengatasnamakan. coba lihat berita hari ini. Pemilihan kepala daerah adalah salah satu bagian dari proses pendidikan politik untuk rakyat dalam hal berdemokrasi. Jadi, kalau sistem politik hanya untuk diperdebatkan atas nama kepentingan. Untuk apa juga aturan itu dibuat.

Asbase tersentak, kok bapak bicara seperti itu, tanyanya, saya harus membicarakan itu kepada mu hari ini karena elit politik sekarang selalu mengatasnamakan perdamaian untuk kepentinganya, tetapi masyarakat korban konflik di desa-desa, tidak ada yang mau peduli.

Terkadang kita sedih melihat sikap korban, mereka hanya bisa menuntut tetapi hasilnya tidak kunjung tiba.Ironisnya lagi, membicarakan keadilan untuk masyarakat korban, mereka tidak terlalu memperdebatkan dan kelihatannya tidak serius meresponnya.

Dengar saja ucapan dari mereka, nanti kita akan membicarakan dan kita akan memperjuangkan, hanya itu ucapannya. Coba lihat persoalan politik yang menyangkut dengan kepentingan mereka. Hampir tiap hari kita membaca surat kabar, tetap menyangkut kepentingan mereka. Ucap usman agak sedikit kesal dengan sikap elit politik.

Kalau membicarakan tentang perjuangan, kita semua yang ada dibumi ini semua pejuang. Lihat saja pada masa konflik berapa banyak korban berjatuhan. Mereka yang jadi korban kejahatan itu tidak pernah saja. Tetapi alat Negara selalu mencari kesalahan pada meraka yang tidak berdosa.

Sebenarnya ini yang harus diperjuangkan dengan semangat perdamaian, bukan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tambahnya.

Asbase hanya bisa mengucapkan, kalau begitu bapak bicarakan, sangat berat untuk dicerna oleh otak seusia aku. Namun aku sangat berterima kasih kepada bapak, cerita ini sudah membuka mata saya selaku mahasiswa. Lalu asbase pamit karena mau antar Koran ke beberapa rumah lagi dan siang di harus masuk kuliah.

Kemudian Usman memegang tangan asbase sambil mengucapkan ini sedikit sumbangan dari saya. Supaya kamu bisa menikmati kopi dan sarapan pagi. Ini bukan uang Koran. Baik pak.Kapan-kapan kita ngobrol lagi tentang negeri ini.

Saya membutuh banyak bahan untuk dapat menilai situasi politik tetapi hari ini tidak cukup waktu untuk mendiskusikannya. Saya pergi dulu ya pak terima banyak atas ilmunya . Assalamualaikum. Ucap Asbesa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline