Lihat ke Halaman Asli

Prabowo dan ke-7 Jenderal Pahlawan Revolusi

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Walaupun tulisan ini dirasakan telat, tapi masih dirasakan menjadi fenomena menarik yang saya amati di minggu kemarin ketika Presiden SBY memanggil Prabowo seorang diri dan menghabiskan waktu 2,5 jam untuk membicarakan situasi terakhir bangsa ini serta penjelasan bagaimana kepemimpinan SBY selama menjabat menjadi Presiden jilid II. Sah – sah saja jika seorang Presiden memanggil koleganya yang sesama satu angkatan atau pernah terlibat secara dekat waktu yang lama di lingkungan TNI. Dan juga jika publik melihat jika pemanggilan itu merupakan terkait dengan 2014. Yang lebih menarik lagi adalah setelah pemanggilan Prabowo, dipanggil pula 7 Jendral Purnawirawan yang kesemuanya terlibat transisi kekuasaan di masa reformasi dan juga reformasi TNI. Proses tersebut mengingatkan saya ketika Prabowo menjalani proses Dewan Kehormatan Perwira (DKP) karena kasus penculikan di tahun 1998, dimana para Jenderal yang mengadilinya ada diantara ketujuh Jenderal tersebut, sehingga apakah fenomena tersebut diindikasikan terkait dengan masa lalu yang bertujuan untuk menciptakan perimbangan kekuatan terhadap pencalonan tentara sebagai Presiden di 2014 nanti.

Ketujuh Jenderal tersebut, merupakan indentik dengan inner cycle Jenderal Wiranto, bahkan beberapa diantaranya seperti Suady Marasabessy dan Fachrul Razi adalah para pentolan ketika tim sukses Wiranto pertama kali terbentuk pada waktu 2004 lalu. Sehingga gerbong ke 7 jenderal tersebut tentunya sangat mengetahui detil kekuatan bagaimana usaha Wiranto dalam proses 2014 nanti. Dengan peta kekuatan tentara saat ini hanya terbagi dua terhadap Wiranto dan Prabowo yang sudah sangat membekas dengan guratan – guratan framing di media sebagai warisan futurisitis yang ditinggalkan oleh mereka pada 2 periode pemilu lalu. Logikanya jika perseteruan di masa lalu ( ketika masih berdinas aktif ) masih menjadi momok hingga saat ini, tentunya SBY jika menjadikan Prabowo sebagai Capres dari Partai Demokrat dalam bentuk Prabowo – Hatta, maka akan mendapat gangguan yang cukup signifikan dari kelompok ke 7 jenderal ini, mengingat dibawah komando Luhut Pandjaitan, kelompok ini memiliki dukungan logistik yang cukup signifikan untuk masuk ke dalam kancah politik sekelas pemilu nasional.

Beberapa diantara ke 7 jenderal tersebut memiliki kesetiaan yang cair dimana cenderung ikut terhadap gerbong pemenang. Misalnya Suady Marasabessy ( SM ) yang ketika di tahun 2004, begitu Wiranto dinyatakan kalah dan SBY masuk ke putaran kedua, Jenderal SM langsung masuk ke gerbong SBY dan masuk dalam bursa pencalonan menteri ketika SBY dinyatakan resmi memenangkan pemilu bersama Jusuf Kalla saat itu. Historikal tersebut tentunya menjadi pegangan SBY untuk dapat mengendalikan pengaruh – pengaruh Jenderal – jenderal tersebut terhadap kandidat yang menjadi jagoan SBY seandainya SBY memunculkan jagoannya dari kalangan TNI terlebih Prabowo misalnya. Disisi lain, pemanggilan tersebut, cenderung mengarah kepada adanya usaha untuk membelah kekuatan Wiranto oleh SBY baik secara ideologis TNI maupun secara historikal perkawananannya. Hal itu dirasakan penting mengingat ketika SBY menjadi Kasospol cukup memberikan pengaruh terhadap kemungkinan Wiranto melakukan pengambilalihan kekuasaan baca : http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Wiranto-Pernah-Diminta-Susilo-Kudeta. Sehingga rasanya kurang logis jika SBY akan mendukung Wiranto dan juga seiring dengan perkirakan banyak orang, dengan masuknya Hary Tanoe ke Hanura sudah jelas mempertebal rasa percaya diri Wiranto dalam dalam proses di 2014 nanti atau minimal calon yang dijagokan oleh Hanura mendapat simpati publik melalui branding di media – media yang dimiliki oleh Hary Tanoe, sudah jelas bahwa saat ini, kekuatan Wiranto sangat diperhitungkan oleh SBY. Sehingga kemungkinannya jika Wiranto urung untuk mencalonkan diri, maka reputasi Hary Tanoe lah yang akan dijadikan sebagai motor penggerak Hanura dengan basis Perindonya, karena ormas ini akan menjadi perekat bagi tokoh – tokoh yang partainya tidak lolos seleksi KPU.

Disini kita dapat melihat apakah kemungkinan Jokowi akan dimasukan kedalam arena pertarungan mengingat magnet Jokowi dapat diterima di semua kalangan partai atau dianggap sebagai kader terbaik PDIP saat ini kondisi itu tentunya dibarengi dengan dikebutnya implementasi kebijakan – kebijakan didalam penyelenggeran Pemprov DKI Jakarta yang dikemas dalam bentuk agenda setting blusukan Jokowi, sehingga secara sistematis reputasi Jokowi tetap terjaga untuk kebutuhan politis sewaktu – waktu bagi PDIP. Artinya ketokohan Jokowi dapatmenjadi alternative terakhir sebagai tokoh pamungkas PDIP jika terjadi deadlock calon PDIP atau sebagai posisi tawar terhadap partai lain dalam pasang memasangkan duetnya. Potensi lain yang dapat berunifikasi adalah kemungkinan Jokowi berpasangan dengan Hary Tanoe untuk menyolidkan kekuatan antara nasionalisme agama serta pluralisme di Indonesia, Hal ini sangat mungkin terjadi jika proses Pilkada banyak dimenangkan oleh pemimpin dari kalangan China – Nasrani, sehingga dapat menjadi sebagai bentuk tekanan dari daerah ke pusat. Baca : http://politik.kompasiana.com/2013/03/10/pdip-hatta-para-elit-pengusaha-china-540884.html. tentunya itu terjadi dengan perhitungan bahwa Wiranto sudah dua kali kalah dengan kekalahan yang kedua pada pemilu 2009, cenderung lebih mencolok karena faktor kinerja mesin politiknya yang masih minim pengalaman serta memiliki beban penyusutan elektabilitas karena faktor reputasi serta alternatif kemunculan calon lain yang lebih disukai publik. Perkembangan saat ini juga seiring dengan kekalahan Golkar secara telak di beberapa Pilkada seperti Jakarta, Jabar dan Sumut sehingga internal Golkar dalam hal ini Aburizal Bakrie ( ARB ) terlihat masih meraba – raba untuk dapat menemukan bentuk kepercayaan dirinya dalam menghadapi minimnya elektabilitas beberapa survey terhadap dirinya, serta PKS yang terus memburu kemenangan pilkada sebagai penutup reputasi karena kasus LHI dan agar dapat memudahkanya di Pilpres 2014 nanti.

Kembali kepada Prabowo dan ke 7 jenderal yang dipanggil, saya lebih melihat kejelian dari SBY dalam memainkan papan catur yang dimilikinya dalam bentuk balance of power terhadap kebutuhan permainan tentara di pentas politik saat ini. SBY tidak akan melepas begitu saja kekuasaan terlepas secara utuh dari Demokrat karena mungkin diperlukan 5 tahun atau 1 periode bagi Demokrat untuk dapat kembali menata reputasinya karena krisis internal yang berkepanjangan. Oleh karena itu tetap SBY akan menempatkan kandidat yang dapat dijadikan tempat bagi Demokrat sebagai pijakan untuk perbaikan partai tersebut. Sehingga apakah SBY akan terus mendorong Prabowo sebagai penerus estafet RI 1 yang notabene kembali dipegang oleh tentara. Dengan reputasi yang tegas, serta kejam dan cenderung memaksa terhadap kesetiaan para pengikutnya, apakah figur Prabowo dirasakan pantas sebagai suksesor SBY… ??? Silahkan masyarakat menilai perkembangan tersebut dan jangan melupakan sejarah bagaimana ketika figur Prabowo ketika merangkak dari Kolonel hingga menjadi LetJend yang memerlukan waktu tidak terlalu lama walaupun berstatus menantu Presiden saat itu. Tetapi, ini dapat menjadi referensi tersendiri bagi masyarakat untuk melihat reputasi Prabowo dalam meraih kekuasaannya.

Jakarta, 18 Maret 2013
Mohamad Chaidir Salamun
Media Intelligence IndoSolution

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline