Lihat ke Halaman Asli

Runtuhnya Kekaisaran Liberalisme di Dunia (Refleksi Kebangkitan BRICS)

Diperbarui: 9 Mei 2023   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BRICS yang semakin kokoh dalam persatuan diantara mereka (Sumber: Chinadaily.com.cn)

Belakangan ini, beberapa pemimpin politik dan opini hawkish dari Inggris, Amerika, dan negara-negara Barat lainnya berpegang teguh pada narasi 'Demokrasi Vs. Otoritarianisme' untuk menyederhanakan perubahan situasi global yang kompleks menjadi konfrontasi antara 'Dunia Demokrasi Barat' dan 'Negara Otoriter Tiongkok-Rusia', dalam upaya untuk membenarkan kebijakan 'Perang Dingin Baru' yang sepenuhnya terlepas dari Tiongkok dan Rusia. Sementara itu, beberapa cendekiawan dari Inggris dan Amerika serta perencana perpecahan ini juga telah mengembangkan narasi dualisme berdasarkan teori. Misalnya, jurnal teori politik dan filsafat Amerika 'Telos' menerbitkan serangkaian makalah akademik berjudul 'Negara Peradaban dan Kekaisaran Liberal' (Civilizational States and Liberal Empire) pada akhir tahun lalu, memberikan dasar teori politik untuk 'Demokrasi Vs. Otoritarianisme'. Artikel ini akan membahas dasar teori politik dari dualisme ini.

A. "Teori Konflik Ideologi"

Pertama, dalam artikelnya, Miles Yu, penasihat senior kebijakan Tiongkok dan perencanaan mantan Menteri Luar Negeri pemerintahan Trump dan profesor di U.S. Naval Academy, berpendapat bahwa pemerintah dan masyarakat Amerika selalu dipengaruhi oleh 'kemiskinan ideologi' (poverty of ideology), dan tidak mengakui hubungan 'simbiosis' yang erat antara ideologi komunis dan pemerintah Tiongkok. Yu berpendapat bahwa ideologi Partai Komunis Tiongkok dan ideologi demokrasi liberal Barat tidak kompatibel, dan Partai Komunis Tiongkok juga telah memulai perang ideologi terhadap Muslim di dalam negeri. Tidak ada 'konflik peradaban' (clash of civilizations) antara Tiongkok dan Amerika, melainkan 'konflik ideologi' (clash of ideologies), yaitu 'pertempuran abadi antara kebebasan dan demokrasi melawan ideologi tirani dan diktator' (the timeless fight between freedom and democracy against the ideologies of tyranny and dictatorship).

David Pan, seorang cendekiawan dari University of California, berpendapat bahwa ada hubungan yang tak terhindarkan antara kekuasaan dan nilai-nilai. Baik itu kekuasaan ekonomi, teknologi, atau militer, semuanya tidak bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai. Karena semua bentuk kekuasaan tidak bisa lepas dari nilai-nilai, tidak ada kekuasaan murni di dunia ini dan juga tidak mungkin ada 'nilai-bebas' (value-free). Karena pembawa nilai-nilai (termasuk peradaban, budaya, dan ideologi) telah menjadi simbiosis dengan kekuasaan, semua nilai-nilai tersebut menjadi nilai-nilai politik.

Ketika kita harus membuat keputusan untuk masa depan, kemampuan pengambilan keputusan yang terlibat tidak bisa lepas dari nilai-nilai. Ketika kita mencoba membangun dan membentuk komunitas nasib bersama yang penting dan bermakna bagi umat manusia, kita tidak bisa menghindari membuat pilihan berdasarkan nilai-nilai, untuk menentukan masa depan yang lebih penting. Karena kebijakan adalah alat untuk membentuk masa depan, negara-negara dan perusahaan (grup kapital) berlomba-lomba untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, bahkan mencoba untuk merebut kekuasaan pengambilan keputusan, berusaha untuk mencapai masa depan yang diharapkan berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Oleh karena itu, isu-isu yang menjadi perhatian negara-negara dan perusahaan di dunia saat ini seperti pemulihan / pertumbuhan ekonomi, geopolitik, keamanan negara, inovasi teknologi, pengeluaran militer, kesehatan masyarakat, dan pembangunan berkelanjutan adalah semua perjuangan nilai-nilai yang memicu konflik politik. Ideologi seperti nasionalisme menjadi alat atau pembawa utama dalam perjuangan nilai-nilai politik ini.

B. Munculnya "Negara Peradaban"

Sejumlah cendekiawan dari Inggris dan Amerika sepakat bahwa unit dasar sistem internasional saat ini adalah "negara-bangsa" (nation-state). Asal-usul sejarah negara-bangsa dapat ditelusuri kembali ke "Perjanjian Westfalia" (Peace of Westphalia) di Eropa pada tahun 1648. Sebelum tahun 1648, organisasi politik di Eropa dikuasai oleh kedaulatan tunggal "Dunia Kristen" (Christendom) yang terdiri dari Kekaisaran Romawi Suci dan Gereja Katolik. Agama dan politik digabungkan oleh Vatikan dan penguasa Romawi, dan kekuatan ekonomi, militer, budaya, dan politik semuanya dipandu dan dibentuk oleh sistem nilai-nilai agama Kristen yang diwujudkan oleh Gereja Katolik Romawi. Karena runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci, Perjanjian Westfalia secara resmi membebaskan konsep hukum internasional "kedaulatan negara" (state sovereignty) dari Dunia Kristen. Sejak itu, berbagai bangsa di Eropa dapat mendirikan negara berdaulat yang tidak berada di bawah yurisdiksi Romawi dan Vatikan, dan negara-bangsa pun bangkit menjadi kekuatan sekuler yang paling berpengaruh, mengkonsolidasikan kekuatan ekonomi, militer, budaya, dan politik.

Hingga sekitar masa Perang Dunia II, untuk melawan peningkatan global komunisme, negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat mengorganisir kembali masyarakat internasional berdasarkan ideologi liberal. Di bawah bimbingan ideologi internasionalisme liberal (liberal internationalism), negara-negara bangsa Barat mengorganisir politik demokrasi parlementer dan hubungan internasional berdasarkan prinsip "universalitas nilai-nilai liberal" (universality of liberal values). Dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 90-an, 'hegemoni liberal' (liberal hegemony) secara resmi memasuki era unipolar. Pada saat yang sama, Tiongkok, Rusia, India, dan dunia Islam mulai memberikan makna baru kepada konsep kedaulatan negara dengan sistem nilai-nilai budaya yang unik dan peradaban yang kompetitif, untuk melawan hegemoni liberal Barat.

Dalam konteks perkembangan ideologi global ini, Tiongkok, Rusia, dan negara-negara non-Barat lainnya mengembangkan "Negara Peradaban" yang berwarna unik dengan budaya dan nasionalisme yang berbeda dari liberalisme. Berbeda dengan tatanan sistem internasional liberal yang berdasarkan negara-bangsa, Negara Peradaban menolak dogma Barat tentang "universalitas nilai-nilai liberal", dan menganjurkan "khususnya nilai-nilai budaya" (particularity of cultural values), untuk melemahkan universalitas, legitimasi, dan hegemoni global liberalisme.

Yang sama pentingnya, beberapa Negara Peradaban (seperti Tiongkok, Rusia, dan Iran) memiliki komunitas etnik besar di luar negeri dan jaringan budaya lintas batas, seperti komunitas Tiongkok di luar negeri, lingkaran etnis Slavia Ortodoks, dan jaringan milisi agama Syiah. Negara Peradaban mempromosikan particularitas nilai-nilai budaya seperti nasionalisme dan konservatisme budaya/agama ke grup etnis budaya di luar negeri, membentuk "Negara Peradaban Transnasional" (transnational civilizational states). Mereka seringkali mengorganisasi aktivitas ekonomi, politik, teknologi, dan budaya di luar negeri dengan Negara Peradaban sebagai pusatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline