Oleh: Chaerol Riezal*
Tak ada yang peduli soal makam Pocut Meurah Pupok sampai akhirnya dipugar sedemikian rupa dan ditetapkan sebagai situs cagar budaya, seperti yang terlihat saat ini. Selain itu, dalam penulisan sejarah di Aceh, misalnya, cerita tentang Pocut nyaris tenggelam dan tidak mendapat tempat disana. Para sejarawan, mahasiswa sejarah, dan awak media sekalipun tak banyak memperhatikan Pocut.
Baca juga: Jalan Sunyi Pocut Meurah Pupok (Bagian Pertama)
Pun demikian juga dalam dunia pendidikan, khususnya dalam materi sejarah Aceh. Ketika sejarah Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda dibahas secara detail, bab tentang Pocut Meurah Pupok seringkali diabaikan, dilewatkan dan disingkirkan begitu saja, dengan dalih bahwa dokumen historis tentang Pocut tidak cukup mendukung dihadapan ilmiah. Maka wajar saja, sejarah tentang tokoh yang satu ini banyak diselimuti oleh kesunyian dan keterasingan.
Ironisnya, Pocut justru mendapat perhatian dari kalangan pemerintah dan politisi. Sayangnya, perhatian itu hanya sekedar lontaran ucapan dan kata-kata saja dan tidak lebih dari itu. Dikatakan oleh mereka, sejarah Pocut menjadi bukti bahwa hukum harus benar-benar ditegakkan ke semua lapisan masyarakat, tak terkecuali kepada keluarga sendiri.
Pernyataan itu sebetulnya merujuk pada ucapan Sultan Iskandar Muda ketika mengeksekusi hukuman pancung kepada anaknya sendiri (Pocut Meurah Pupok) lantaran dianggap telah melanggar hukum, dan adat kerajaan. Atas alasan itulah, Pocut dijatuhi hukuman rajam. Kala itu berkatalah Sultan: “mate aneuk meupat jirat, gadoh adat pat tamita,” yang artinya adalah "hilang anak masih ada kuburan yang bisa diziarahi, tapi bila adat yang hilang hendak kemana dicari." Bagitulah para politisi kita mengeksploitasi sejarah Pocot Meurah Pupok dengan merujuk ucapan Sultan Iskandar Muda. Memang itu tidak salah, tapi hanya sebagai pengingat dan pembelajaran bagi generasi sekarang; tidak lebih dari itu, hanya sekedar ucapan semata.
Di tengah kesunyian dan minimnya perhatian untuk Pocut, Pemerintah perlahan-lahan mulai hadir. Bahkan Pemerintah pun ikut terlibat dalam mengangkat kembali cerita Pocut lewat program pemerintah sendiri. Dengan gelontoran dana pelestarian cagar budaya, makam Pocut pun ikut dipugar dan dijadikan sebagai cagar budaya. Tak hanya itu, disekitar makam Pocut pun didirikan pagar besi berwarna hitam yang akan menuntun para pengunjung menuju ke makam. Sampai disini, perhatian untuk Pocut mulai muncul.
Tetapi Anda tentu tahu, jauh sebelum pemerintah hadir, makam Pocut tak ubahnya seperti si miskin yang tinggal di komplek si kaya. Si miskin yang tak punya apa-apa, hanya bisa melihat kemegahan yang dimiliki si kaya. Ya benar saja, makam Pocut yang berada ditengah-tengah makam serdadu Belanda, seperti tak terurus, lesu, batu nisannya (tak ada keterangan) hanya diikat oleh sehelai kain putih sebagai penanda, dan terdapat sebatang pohon yang menemani tiga makam disana.