Lihat ke Halaman Asli

Chaerol Riezal

Chaerol Riezal

PNI Lama dan Lahirnya PNI Baru: Menengok Dua Pemikiran yang Berbeda (Soekarno vs Hatta-Sjahrir)

Diperbarui: 3 Agustus 2017   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.zenius.net

Abad ke-20 bagi Indonesia merupakan periode mobilisasi politik massa yang bercorak radikal serta penuh kekerasan. Kalau mobilisasi yang dijalankan oleh Sarekat Islam (SI) pada tahun awal-awal eksistensinya lebih dijiwai oleh revivalisme agama, sehingga oleh PKI lebih diarahkan ke suatu revolusi sebagai pemenuhan doktrin Marxisme dengan perjuangan kelas yang terkenal itu.

Pada masa itu memang jelas kecenderungan struktural tampak memberi angin kepada gerakan komunis, tidak lain karena kalau pada satu pihak ada pertumbuhan ekonomi perkebunan yang luar biasa maka pada pihak lain kehidupan rakyat kecil semakin merana. Di sini masalah eksploatasi dengan jelas dapat ditonjolkan sehingga mudah mendorong ke arah aksi penuh kekerasan. Meskipun dibeberapa tempat mobilisasi rakyat berhasil, namun sifatnya tetap merupakan segmentasi dan terisolasi satu sama lain sehingga dengan mudah dapat ditindas oleh penguasa kolonial Belanda.

Kecuali kejutan politik, rupanya dampak pemberontakan PKI tahun 1926 itu tidak banyak artinya. Di kalangan kaum moderat dari pergerakan nasional timbul sikap mencela tindakan keras itu, sedangkan di kalangan kaum nasionalis berhaluan radikal diusahakan mencari alternatif bentuk perjuangan yang lain dalam menghadapi kolonialisme yang semakin gigih dipertahankan oleh Belanda seperti yang disuarakan oleh Colijn dan Treub.

Dalam rangka mencari alternatif itu, beberapa konsiderasi historis menunjukkan orientasi politik yang jelas, yaitu: (1) Garis-garis pokok manifesto politik Perhimpunan Indonesia (PI) memberi pegangan yang fundamental. (2) Secara berturut-turut para anggota PI pulang ke Indonesia. (3) Munculnya kepemimpinan kaum inteligensia yang bukan anggota PI. (4) Mobilisasi rakyat telah mengarak ke suatu momentum, sehingga perlu diteruskan dengan kepemimpinan baru. (5) Tampuk pimpinan kekuasaan kolonial yang dipegang oleh Gubernur Jenderal de Graeff masih memberi ruang gerak politik bagi kegiatan kaum nasionalis.

Meskipun sumber-sumber daya pergerakan nasional telah tersedia, seperti kepemimpinan, ideologi massa sebagai pendukung, organisasi-organisasi sebagai wahana komunikasi, namun ada faktor-faktor minus yang menghambatnya, antara lain konflik antar dan dalam organisasi, rivalitas antara pemimpin, pluralitas masyarakat Indonesia dengan golongan-golongan politiknya, kesenjangan antara elite dan massa. Jelaslah bahwa faktor-faktor itu kontra produktif dan hanya mempunyai akibat saling melemahkan belaka. Dalam menghadapi proliferasi kekuatan nasional itu, pemerintah kolonial dengan mudah mempergunakan situasi penuh konflik itu untuk menempuh politiknya yang semakin reaksioner.

Dipandang dalam konteks itu, maka pembentukan PNI (Partai Nasional Indonesia) merupakan jawaban tepat terhadap tantangan zaman serta yang optimal dapat diusahakan untuk memakai sumberdaya yang tersedia. Secara eksplisit dinyatakan bahwa di dalam PNI tidak ada diskriminasi menurut ras, suku, agama, golongan sosial, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip PI pada umumnya dipakai sebagai pokok-pokok asas tujuan, meskipun para pendiri tidak menerima ide PI secara keseluruhannya dengan alasan bahwa organisasi politik Indonesia perlu mengadakan penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya yang nyata sekali berbeda dengan lingkungan di negeri Belanda.

Itulah sebabnya mengapa konsep Serikat Rakyat Nasional Indonesia (SRNI) seperti yang diajukan oleh Soedjadi sebagai perantara PI di Indonesia tidak dapat diterima sepenuhnya. PNI mempunyai basis pendukung seperti Sartono, Soekarno, Soenarjo, Iwa Kusumasumantri, Ali Sastroamidjojo, Maskun, Gatot Mangkupraja, dan lain sebagainya. Berbeda dengan PI, PNI tidak menegaskan perjuangan kelas tetapi lebih menekankan perjuangan melawan kolonialisme. Jadi, lebih merupakan perjuangan rasial. Jiwa populistisnya kemudian lebih dikenal sebagai Marhaenisme.

Suatu dampak yang menonjol dari politik konservatif Gubernur Jenderal Fock ialah pergerakan nasional menempuh jalan makin radikal dalam memperjuangkan tujuannya yang semakin berubah menjadi politik murni. Lokasi sosial golongan yang mendukung suatu organisasi pergerakan akan sangat menentukan derajat radikalismenya. Kalau ternyata PKI menyediakan suatu alternatif yang kemudian menemui kegagalan, kaum inteligensia sejak pertengahan tahun 1920-an berusaha membentuk organisasi politik berdasarkan prinsip-prinsip seperti yang telah digariskan oleh PI. Manifesto politiknya sebagai hasil pemikiran di kalangan PI dapat dipandang sebagai ekspresi jiwa nasionalisme yang telah mengalami pemekaran sepenuhnya.

Sesuai dengan kedudukannya, kaum inteligensia telah mengadakan interpretasi yang tepat mengenai situasi sosial-politik di Indonesia dalam tahun 1920-an itu serta secara tepat pula merumuskan diagnosis sosial untuk dapat mengatasi permasalahannya. Pandangan PI yang bersifat global dapat menunjukkan pokok-pokok hakiki dalam situasi kolonial, dan oleh karenanya prinsip-prinsip demokrasi, swadaya, dan persatuan merupakan soko guru pergerakan nasional di masa-masa kemudian. Idealisme politik yang berkembang di kalangan PI mencerminkan lokasi sosial-histori para pendukungnya yang mengandung antara lain faktor-faktor seperti: (1) Suasana politik bebas di negeri Belanda dengan kebebasan berkumpul dan berbicara; (2) Para anggota PI sebagai mahasiswa pada umumnya tidak mempunyai ikatan dengan kepentingan tertentu; (3) Solidaritas antaretnik mudah terpuruk, lebih-lebih di kalangan kecil sesama golongan akademik.

Meskipun manifesto politik tersebut memberi orientasi tujuan yang jelas bagi bagi perjuangan politik dengan Indonesia serta sebagai idealisme sangat meningkatkan aspirasinya, namun dalam kehidupan politik praktis di Indonesia sering dirasakan kurang sesuai dengan situasi yang sebenarnya, dan ada kalanya disambut dengan kritik tajam sebagai hal yang tidak realitis, lagi pula terlalu lepas dari rakyat.

Ada faktor lain yang menimbulkan dugaan bahwa konsepsi PI tidak dapat begitu saja diterima dan dipraktekkan di Indonesia, ialah adanya kecurigaan pada pihak Belanda bahwa konsep PI itu sebenarnya berasal dari konsepsi Semaoen. Bantahan Moh. Hatta mengenai tuduhan itu tidak berdaya menghilangkan kecurigaan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline