Lihat ke Halaman Asli

Chaerol Riezal

Chaerol Riezal

Andai Aceh Punya Mahkamah Sejarah

Diperbarui: 11 Mei 2017   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Chaerol Riezal*

Di dalam benak saya, akhir terbaik dari kisah perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bertujuan agar Aceh merdeka dari Republik Indonesia (meskipun itu tidak terwujud), adalah menjadikan Aceh sebagai daerah impian dari kebanyakan masyarakatnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda. Tapi, apa yang seringkali diinginkan dan didapatkan memang seringkali pula tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Saya, Chaerol Riezal, bukanlah orang yang lahir dari keluarga GAM, tetapi hanyalah seorang pemuda yang nyaris sepanjang hidup ini bermimpi kembali ingin melihat Aceh seperti yang telah dibukukan dalam sejarah Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda dan ingin memastikan bahwa saya terlibat dalam proses itu. Tentu saja.

Meskipun hal itu sangat sulit dan bahkan mustahil untuk bisa diwujudkan, tapi ada peluang untuk dilakukan. Bermimpi melihat Aceh kembali menjadi berjaya lagi, adalah sesuatu yang menjadikan hal itu sebagai mimpi dan tujuan yang indah. Sampai pada titik tertentu, mimpi dan tujuannya itu berubah menjadi suatu obsesi.

Ketika Hasan Ditiro resmi memproklamirkan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 di Gunung Halimun, MoU Helsinki jelas tak ada dalam benaknya. Pada saat itu, satu-satunya tujuan Hasan Tiro mendirikan GAM adalah agar Aceh menjadi negara yang berdaulat atau merdeka dari Republik Indonesia. Dengan kata lain, Aceh ingin pisah dari Indonesia.

Segalanya berjalan seperti apa yang diinginkan oleh Hasan Tiro, meskipun ada tindakan dengan cara legal dan ilegal. Apa yang ia mau, ia dapat, dan ia gerakkan, seakan runutan naskah yang sudah dia susun sedari awal tidak mendapatkan tentangan apa-apa dari nasib. Barulah beberapa tahun kemudian mendapat kesulitan dan tantangan yang besar.

Ada persoalan kekacauan disana. Ada pula tindakan yang tidak manusiawi dan banyak rakyat Aceh menjadi korban yang tidak bersalah. Penurunan dan penambahan kekuatan militer juga terjadi serta Aceh dihantam oleh mega musibah bernama gempa dan tsunami. Sampai pada tahap ini, hal ini mengingatkan kita bahwa apa yang diingin-inginkan oleh setiap manusia tidak serta-merta berakhir sebagaimana mestinya.

Kita yang pernah membaca cerita sejarah GAM, kemudian tahu bahwa GAM dan RI berakhir pada 15 Agustus 2005 di Finlandia. GAM dan RI akhirnya pun damai. Akhir cerita GAM dan RI yang berdamai di meja runding, melahirkan sebuah kesepakatan yang diberi nama MoU Helsinki. Tapi ceritanya tidak berhenti sampai disitu.

***

Ada banyak frase, idiom, atau istilah-istilah yang berseliweran di dunia sejarah. Salah satu yang kerap mampir di telinga adalah “tidak ada dalam naskah sejarah.” Manakala ada sebuah kejadian yang melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat diikut sertakan, namun kejadian itu tidak diabadikan, istilah “tidak ada di dalam naskah” pun mengemuka. Maka disinilah “Mahkamah Sejarah” diperlukan untuk menggugat sejarah yang “tidak ada dalam naskah.”

Kalaulah boleh meminjam istilah “seandainya”, tentu saja banyak hal yang ingin saya “andaikan” dalam sejarah Aceh ini. Tujuannya jelas: agar generasi muda mengenal betul seluk beluk sejarahnya. Hal ini juga bertujuan untuk pijakan masa sekarang dan masa yang akan datang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline