Lihat ke Halaman Asli

Chaerol Riezal

Chaerol Riezal

M. Nourhalidyn: Sang Penghidup Surat Kabar di Aceh

Diperbarui: 16 November 2016   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil gambar untuk Sjamsul Kahar dan Serambi Indonesia (serambitv.com)

Oleh: Chaerol Riezal

M. Nourhalidyn meninggal dunia pada 16 November 2000 dalam usia 57 tahun. Apa yang spesial dari sosok Nourhalidyn ini? Tokoh pencetus surat kabar mingguan Mimbar Swadaya (yang kelak menjelma menjadi Harian Serambi Indonesia) itu, dikenal sebagai seorang wartawan yang tak henti-hentinya menghidupkan pers di Aceh (yang waktu itu dalam keadaan mati suri) lewat usaha kerasnya melalui surat kabar mingguan Mimbar Swadaya.

Pria kelahiran Bambi, Kabupaten Pidie 24 Oktober 1943 ini, terlibat dalam berbagi organisasi terutama yang berbasis kesenian. Nourhalidyn, dalam masa-masa 1960-an, sudah mulai muncul menampakkan bakat menulisnya. Ia juga aktif menulis puisi dalam majalah sekolah. Lewat media terbitan SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) Sigli beralih ke surat kabar. Karya puisinya kerapkali muncul di majalah dan surat kabar terbitan Banda Aceh, Medan dan Jakarta. Sejak saat itulah, nama “M. Nourhalidyn” mulai dikenal oleh khayalak.

Sewaktu masih menetap di kota Sigli tahun 1964, kehidupan sehari-hari Nourhalidyn sudah mulai dihantui oleh surat kabar. Ia pernah menjadi penulis di Karya Tjeudaih, salah satu rubrik budaya Harian Pantjatjita terbitan Banda Aceh (ejean EYD “Pancacita” kalau tidak salah). Bahkan ia juga sering terjun ke lapangan-jalan untuk menyebarkan surat kabar. Salah satu orang yang diajak untuk berlangganan saat itu adalah Sjamsul Kahar, Pemimpin Umum Harian Serambi Indonesia saat ini.

Pada saat Indonesia mengalami pergantian kekuasaan dari orde lama menjadi orde baru, Nourhalidyn masuk dalam jajaran aktivis pers. Ia terlibat penuh dalam usaha penerbitan Harian KAMI yang dikelola oleh aktivis kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Kemudian pada tahun 1967, Nourhalidyn bersama Anwar Zeats dkk menerbitkan surat kabar Mimbar Swadaya di Banda Aceh.

Di bawah naungan Yayasan Swadaya, Nourhalidyn menjabat sebagai ketua. Setahun setelah menerbitkan Mimbar Swadaya, Nourhalidyn langsung membenahi dan mengelola sendiri manejemen surat kabar tersebut. Sejak saat itulah, Nourhlaidyn dihadapkan pada kesibukan mengurus surat kabar. Namun, sayangnya surat kabar Mimbar Swadaya itu seperti mati suri; jatuh bangun, timbul dan tenggelam. Bahkan terkadang tidak bisa tebrbit dalam waktu yang lama, lalu terbit kembali untuk beberapa waktu kemudian dan begitu juga seterusnya, sampai kemudian Mimbar Swadaya menjelma menjadi Harian Serambi Indonesia.

Usaha dan niat Nourhalidyn menghidupkan pers di Aceh patut diacungkan jempol. Sebab, perkembangan surat kabar di Aceh sekitar tahun 1980-1986 tidak menunjukkan tanda-tanda yang cukup untuk kehidupan pers daerah. Saat itu sarana komunikasi informasi seperti radio, surat kabar dan televisi yang bertujuan untuk menyebarkan berbagai informasi kepada masyarakat sangat terbatas jumlahnya. Beberapa surat kabar yang mampu terbit secara mingguan di Aceh dan yang tercatat memiliki surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang jelas diantaranya, seperti surat kabar Mimbar Swadaya, Peristiwa, dan Atjeh post. Akan tetapi, semuanya tidak mampu menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan dan tidak mampu bertahan lama. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumber daya manusia dan biaya operasional sehingga mengakibatkan surat kabar di Aceh tidak bisa berkembang. Informasi yang disajikan juga tidak original karena merupakan hasil kutipan dari surat kabar diluar wilayah Aceh, bahkan jangkauan sirkulasinya pun tidak mancakup seluruh Aceh. Itulah sebabnya mengapa Nourhalidyn patut diberikan penghargaan atas usaha-usahanya dalam menghadirkan sebuah surat kabar, selain para wartawan dan Pemerintah Aceh yang juga berusaha menghidupkan pers daerah di Aceh.

Pada saat Nourhalidyn terus berjuang untuk menghidupkan pers di Aceh, ia dihadapkan pada ujian yang besar. Goncangan terbesar dalam kehidupan Nourhalidyn adalah ketika istri tercintanya, Ida Hafni Nur, meninggal dunia pada tahun 1994. Kehilangan seorang istri yang sangat ia cintai, benar-benar membuat Nourhalidyn larut dalam kesedihan yang panjang. Namun, ia tetap tabah menerima ujian ini. Untuk mengisi kesedihan dan kesepian hidupnya, Nourhalidyn semakin dekat dengan ke-empat buah hatinya. Mereka adalah Diah Meutia Dewi SE, Hari Teguh Patria (kini menjabat sebagai Manajer Iklan Harian Serambi Indonesia), Diah Mestika Sari (meninggal dunia pada saat mega musibah Tsunami Aceh di penghujung tahun 2004), dan Hari Mahardika.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa setiap makhluk yang bernyawa itu pasti akan kembali kepada Sang Pencipta-Nya, termasuk Nourhalidyn. Enam tahun pasca meninggal sang  istri, Nourhalidyn pun dipanggil untuk meninggalkan dunia dan segera menyusul istri ke alam baka. M Nourhalidyn meninggal dunia pada 16 November 2000, setelah ia berjuang keras atas beberapa penyakit yang di derita olehnya.

Ia, Nourhalidyn, memang sudah lama meninggalkan pentas sejarah pers di Aceh, terutama teruntuk Harian Serambi Indonesia. Namun, perjuangan dan dedikasinya tetap hidup dalam sanubari para wartawan generasi pertama, kedua, ketiga dan generasi saat ini Harian Serambi Indonesia, termasuk sahabat karibnya H. Sjamsul Kahar.

Selamat jalan, sang maestro pers Aceh. Semoga panjang umur surat kabar di Aceh, dan tetap mempertahankan independen serta netralitas dalam setiap pemberitaannya. Semoga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline