Jika dulu LGBT adalah hal yang ditabukan, maka hari ini sudah tidak lagi. Itulah yang terjadi di negeri Paman Sam. Skandinavia, Belanda, Perancis, dan Kanada. Seiring dengan banyaknya desakan di masyarakat, maka Institusi resmi yang berfungsi untuk mengatur undang-undang di negara itu melegalkan pernikahan sesama jenis.
Dalam sejarahnya Babur (pendiri kerajaan Mughal), Caligula (kaisar romawi yang dikenal doyan seks), Hadrian (yang membangun tembok Hadrian di Inggris), bahkan Aleksander Agung (kekasih Hephaestion) harus menyembunyikan sifat aslinya jika tidak ingin dijadikan bahan cibiran—atau bahkan lebih parah intimidasi dan kekerasan oleh masyarakat.
Namun sekarang di negara-negara tersebut persoalan homoseksual---spesifiknya hubungan seks “strict” non biner---sudah sama umumnya dengan topik-topik lain semacam aborsi, atau bayi tabung. Hal yang dulunya merupakan sarana pertentangan kaum rasionalis dan agamawan kini sudah dianggap sebagai bagian yang inheren ada pada manusia. Homoseksual bukan penyakit akan tetapi suatu gejala yang wajib kita maklumi jika tidak ingin dicap anti peradaban.
Hukum dibuat berdasarkan kesepakatan (mufakat). Jika tidak ada mufakat, maka apa yang dimaksud oleh orang barat sebagai demokrasi adalah mengambil keputusan mayoritas dalam suatu kuorum. Soal pantas tidak pantas tidak bisa dilihat dari sudut pandang orang per orang. Agama bisa kita kesampingkan karena agama bukan sains yang bisa diverifikasi berulang-ulang dan terbuka akan kritikan. Contoh kasus, dahulu apa yang saat ini disebut sebagai transfusi darah merupakan hal yang dilarang oleh agama.
Demikian pula dengan bayi tabung. Namun sekarang, sistem dan corak pendidikan yang berubah makin rasional mengakibatkan manusia kemudian melegalkan hal-hal tersebut demi kemaslahatan. Beberapa orang yang menjadi perumus standar nilai budaya manusia modern (misalnya Montesquieu dan Lavoisier) justru adalah orang-orang yang suka mengkritik keras kemapanan agama.
Lantas di kemudian hari orang-orang—yang masih sempat merasakan keharuan akan manisnya agama---kemudian menanyakan apakah batasan yang bisa dipakai untuk menjaga manusia untuk tetap berada dalam spektrum manusiawi. Manusia dan hewan sama-sama disusun oleh DNA. Jika sapi punya otak, demikian pula ayam, kambing, dan kuda. Jika sapi doyang seks, maka manusia pun juga begitu. Kendatipun berbeda dengan hewan yang berhubungan seks dengan periode yang teratur, seks manusia bisa dilakukan kapan saja---konon hal ini dikarenakan tidak adanya baculum pada penis manusia: sebuah tulang yang dijumpai pada hampir semua mamalia lainnya kecuali manusia.
Manusia punya kesadaran namun sapi---sejauh mata memandang---merupakan hewan yang ditakdirkan harus tunduk 100 persen pada kehendak manusia. Sapi bagian dari rantai makanan di mana manusia yang ada dipuncaknya. Di akhir cerita manusia mati dan dimakan oleh cacing, sementara cacing dimangsa oleh ayam dan ayam kemudian dimakan lagi oleh manusia (jika tidak tertelan oleh sapi). Orang-orang kemudian menanyakan apakah bisa kita suatu nanti makan sambil telanjang atau berak jika demokrasi menghendaki seperti itu?
Namun hidup tidak sesederhana itu. Kita tidak bisa sekonyong-konyong nya menyamakan keadaan benar atau salah dengan pilihan beragama atau tidak. Justru jika kita bisa menilai secara objektif, adalah sebuah keganjilan jika suatu nilai yang ditanamkan sebagai solusi permasalahan dalam suatu periode tertentu dalam sejarah kemudian dipakai selama-lamanya sebagai patokan dalam menghakimi permasalahan psikososial yang terjadi sepanjang sejarah manusia.
Hukum Islam sendiri yang dulunya dianggap sebagai masterpiece (bahkan di Supreme Court Amerika Nabi Muhammad disejajarkan dengan Napoleon Bonaparte dan Charlemagne) ternyata harus mengalami amandemen (baca:reinterpretasi) habis-habisan oleh pakar fikih modern guna menyesuaikan kebutuhan zaman yang berpedoman pada azas manfaat. Para pakar fikih kemudian mencari relevansi pertanyaan-pertanyaan semisal, bagaimana tata cara sholat di ISS (international space station), bagaimana hukum trans-gender, bagaimana tata cara puasa di daerah lintang tinggi, atau soal perbankan yang harus halal, jual beli saham, kandungan bahan tertentu pada makanan dan masih banyak hal lain dengan melihat analogi di zaman Nabi Muhammad.
Namun karena pada dasarnya agama memang adalah hal yang hanya bisa diimani tanpa bisa diverifikasi maka sudah selayaknya kita sebagai bagian dari entitas peradaban modern untuk lebih bijak dalam mengambil pedoman. Seperti kata jargon melayu: “yang lalu biarlah berlalu,” pada akhirnya kita disodori oleh fakta bahwa jumlah hadits yang dikumpulkan selama periode kenabian Nabi Muhammad tidak sebanding dengan kemampuan manusia untuk berinovasi untuk menghasilkan suatu hal-hal yang baru.
Lantas kemudian muncul pertanyaan, apa tujuan Tuhan menurunkan agama? Apakah itu ditujukan untuk mencegah manusia berbuat kerusakan (walaupun defenisi kerusakan ini masih belum jelas, karena di kemudian hari Tuhan mengadakan kerusakan total a.k.a kiamat) atau itu semua merupakan buah kreatifitas fikiran manusia zaman dahulu yang entah kenapa bisa diimani sebegitu fanatiknya hingga tak lekang oleh zaman---Jika dibandingkan dengan total tulisan yang dibuat oleh Vladimir Lenin sepanjang karirnya atau total tulisan yang dikarang oleh Buya Hamka maka gabungan Al-Quran dan Alhadits yang terbukukan itu belum bisa dikatakan hal yang luar biasa produktif.