Lihat ke Halaman Asli

Christian Evan Chandra

TERVERIFIKASI

Narablog

Efisiensi, Efektivitas, dan Modularisasi Demi Eksistensi Nyata Maskapai Berbiaya Rendah

Diperbarui: 7 Februari 2024   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perlunya mengurangi kursi kosong untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan harga tiket pesawat. Foto: Unsplash

Indonesia adalah negara kepulauan. Luasnya wilayah Indonesia membuat penggunaan kapal laut tidak mencukupi dan pesawat terbang lebih baik soal kecepatan. Mahalnya tiket penerbangan dari maskapai yang lebih dulu ada melahirkan keberadaan maskapai berbiaya rendah. Apakah maskapai ini biayanya benar-benar rendah?

Di satu sisi, Pemerintah memberlakukan rentang harga untuk mencegah tiket terlalu mahal sekaligus persaingan yang tidak sehat di industri maskapai penerbangan. Diatur saja, kita melihat ada saja maskapai yang tutup usia dari masa ke masa. Di sisi lain, hal ini menjadi salah satu faktor yang mengurangi selisih biaya tiket antara maskapai berbiaya rendah dengan maskapai berlayanan penuh seperti Garuda Indonesia dan Batik Air.

Penyebab maskapai berbiaya rendah belum memberikan tiket lebih murah secara signifikan

Sekalipun batas bawah harga tiket yang ditetapkan Pemerintah belum benar-benar murah, tidak selalu maskapai berbiaya rendah mematok harga mendekati itu. Faktor keekonomian dan keseimbangan permintaan-penawaran tetap menjadi pertimbangan utama maskapai.

Ketersediaan bandara kurang mendukung model bisnis maskapai berbiaya rendah

Di dunia Barat, maskapai berbiaya rendah lebih berfokus pada penerbangan domestik yang menjangkau bandara sekunder di lokasi. Bandara ini memiliki fasilitas yang lebih minim dan umumnya penerbangan internasional harus transit ke bandara utama, tetapi biayanya juga lebih murah. Lain halnya di Indonesia, kita cenderung memiliki satu bandara untuk melayani satu wilayah, paling menggunakan terminal yang lebih lama jika bandaranya punya lebih dari satu terminal. Fasilitas garbarata tidak digunakan, cukup tangga dan jika jarak parkir jauh ke terminal ya terpaksa menyewa shuttle bus.

Penghematan akan tetap ada, tetapi tidak maksimal. Ketika bandara ini semakin padat dengan runway yang tidak bertambah, pesawat berakhir mengantre dan menyisakan dua pilihan. Pertama, memperlebar jarak antarpenerbangan dan mengurangi intensitas penerbangan oleh satu armada. Kedua, delay beruntun yang mengurangi kepuasan pelanggan dan maskapai bisa terekspos pada risiko membayar ganti rugi. 

Maskapai berbiaya rendah boleh dibilang bersaing ketat di rute-rute yang sama dengan maskapai berlayanan penuh, membuat keuangan perusahaan cukup tertekan untuk bisa meraih keuntungan yang optimal. Tingkat keterisian armada bisa jadi tidak optimal karena terlalu banyak penerbangan berkumpul di waktu yang sama ke destinasi yang sama. Mencari waktu yang berlainan bisa jadi mengurangi permintaan terhadap tiket penerbangan itu sendiri, apalagi jika waktunya terlalu pagi atau terlalu malam. Itupun jika bandaranya masih beroperasi ya.

Kurang kompetitifnya skala keekonomian dan terbatasnya tipe pesawat yang bisa dieksplorasi

Letak masalah berikutnya adalah skala keekonomian. Maskapai dengan marjin keuntungan lebih rendah bisa hidup bermodal pesawat yang lebih banyak, variasi tipenya minim, dan perputaran armada tinggi. Kecuali Citilink dan Lion Air yang didukung oleh keberadaan fasilitas pemeliharaan dan perbaikan armada milik grup usaha masing-masing, maskapai lain perlu menyamakan jenis armadanya dengan milik kedua grup ini. Belum lagi soal pilot, berbeda jenis armada akan menyulitkan pencarian pilot. Kita tahu bahwa grup Garuda Indonesia begitu besar. Menyewa dan membeli armada berpeluang mendapatkan diskon yang lebih besar, belum lagi sarana lainnya yang bisa digunakan bersamaan untuk banyak armada. Lawan tangguhnya tentu grup Lion Air, sisanya berarmada lebih sedikit sehingga kurang kompetitif di sini.

Para pemimpin pasar kompak memilih armada yang boleh dibilang paling ekonomis dan cocok memenuhi kebutuhan pasar saat ini. Andalannya adalah ATR untuk turboprop, Boeing 737 dan Airbus A320 untuk pesawat jet narrow-body, juga Airbus A330 untuk pesawat jet wide-body. Khusus Garuda Indonesia, mereka juga memiliki pesawat jet wide-body Boeing 777. Rute gemuk maupun rute yang lebih minim penumpang semuanya disasar dengan baik mengingat banyaknya armada dan keberadaan BUMN dengan tanggung jawab besar memenuhi kebutuhan masyarakat.

Tidak semudah dan selaku itu berjualan layanan dan mencari sampingan

Bukan rahasia maskapai mencoba berbagai macam cara untuk berjualan layanan agar biaya tiket bisa terjangkau. Misalnya, harga lebih tinggi untuk memesan kursi dengan posisi lebih menarik atau memastikan bisa duduk bersama teman seperjalanan. Pada kenyataannya, banyak penumpang tidak memesannya dan mencoba datang ke bandara lebih awal saat keberangkatan dengan harapan mendapatkan kursi sesuai harapan tanpa biaya. Jika tidak dapat juga tidak mengapa, penerbangan tidak begitu lama dan pemandangan jendela pun kini kalah dengan tidur atau mengakses gadget.

Strategi membeli bagasi secara terpisah juga dicoba. Sayangnya, para penumpang yang cukup banyak berasal dari kelompok backpacker malah ikut mengurangi barang bawaan agar muat ditaruh di laci atas kabin atau di bawah kursi. Akhirnya, menambah bagasi bisa menjadikan penerbangan maskapai berbiaya rendah malah lebih mahal dari maskapai berlayanan penuh. Berdagang makanan dan minuman juga dicoba, tetapi penumpang lebih siap dengan makan dan minum terlebih dahulu sebelum berangkat untuk kemudian cenderung berpuasa selama penerbangan agar tidak bolak-balik kamar mandi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline