Beberapa waktu terakhir, kita dihadapkan pada pergerakan suku bunga yang naik dan turun. Sebagai akibat dari pandemi COVID-19, beberapa pekan lalu kita sempat membahas suku bunga yang terus turun dan bahkan produk tabungan tertentu harus menyentuh nol persen.
Turunnya suku bunga berarti kita harus putar otak lebih keras bagaimana cara mengumpulkan uang tabungan untuk pendidikan anak tercinta.
Waktu cepat bergerak dan sekarang kita menghadapi harga komoditas energi, inflasi, serta suku bunga pinjaman yang naik sehingga hidup menjadi lebih keras dari sebelumnya.
Bagaimana harus memikirkan tabungan pendidikan untuk anak ketika kemampuan kita menabung berkurang dan biaya pendidikan terus naik?
Ya, sebenarnya kita juga perlu memikirkan anggaran pensiun. Di tengah tren usia yang semakin panjang, usia pensiun meningkat tetapi tidak selama itu dan setelahnya dihadapkan pada biaya hidup yang meningkat serta tingkat kesehatan yang tidak lagi prima.
Akan tetapi, keterbatasan membuat kita harus memilih dan pilihan ditujukan pada generasi penerus keluarga sekaligus penerus bangsa yang masih punya masa depan yaitu anak.
Salah satu faktor penting penentu keberhasilan anak adalah pendidikan. Pengetahuan, keterampilan, disiplin, sampai cara bersosialisasi diajarkan, tetapi tetap saja sampai hari ini peninggalan yang dianggap paling bernilai adalah ijazah.
Dan seperti kita tahu, semakin prestisius penerbitnya, peluang masa depan cerah dipandang semakin terbuka lebar.
Sayangnya, jangankan berburu prestise tersebut, sekolah saja seringkali terasa berat. Kursi sekolah negeri yang gratis itu sulit digapai sekalipun oleh siswa cerdas nan berprestasi, siswa yang tinggal dekat sekolah itu, juga siswa dari keluarga dengan keuangan menengah ke bawah.
Tidak jarang orang tua berpendapatan pas-pasan harus berjuang mati-matian membayar uang pangkal dan uang bulanan anaknya di sekolah swasta yang boleh dibilang "biasa saja".