Hadirnya kurikulum prototipe dari Kemdikbud, yang ramai disebut sebagai Kurikulum 2022, disambut bahagia oleh warganet. Padahal, poin bahagia soal penghapusan jurusan di jenjang SMA belum bersifat wajib dan baru dilakukan oleh sekolah yang berminat serta memiliki kesiapan.
Bagaimana dengan penyatuan pelajaran IPA dan IPS menjadi IPAS di jenjang SD? Juga pelajaran informatika yang kembali diwajibkan di jenjang SMP dan bahasa Inggris yang dikabarkan menjadi opsional di jenjang SD?
Namanya juga manusia, perhatian lebih ditujukan pada hal-hal yang berpotensi memberikan kebebasan dan kemudahan ekstra.
Mereka yang merasa diuntungkan, yaitu siswa yang saat ini duduk di jenjang SMP ke bawah, jelas senang karena berkurang bebannya ke depan dalam menghadapi pelajaran yang tidak sesuai dengan minat dan bakat.
Akankah kurikulum baru ini benar-benar menarik jika dibandingkan dengan Kurikulum 2013 yang sudah ada?
Fleksibilitas memilih mata pelajaran bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sekarang menimbulkan dilema
Sebenarnya, di kurikulum 2013 sudah tersedia kesempatan bagi siswa suatu jurusan untuk memperdalam materi terkait jurusan lain melalui skema lintas minat. Hanya saja, pelajaran lintas minat ini akan berkurang dari dua, di kelas sepuluh ke satu saja di kelas sebelas dan dua belas.
Bagi saya yang sejak awal duduk di bangku SMA pilihannya sudah terbatas, aktuaria sebagai pilihan utama dengan pemrograman sebagai rencana cadangan, skema ini sudah terasa cukup dengan ekonomi sebagai pelajaran lintas minatnya.
Keuntungannya terasa jelas. Ketika saya mengikuti seleksi SBMPTN empat tahun lalu, saya beruntung tidak perlu mengeluarkan dana lebih untuk mengikuti program bimbingan tahap akhir alias BTA yang harganya mencapai jutaan Rupiah itu.
Ujian Sekolah, Ujian Nasional, dan SBMPTN mengujikan pelajaran yang sama sehingga satu set usaha belajar bisa menghadapi tiga ujian sekaligus karena program studi yang diincar sesuai dengan jurusan di SMA.