Pertama kali menggunakan internet pada 2007, saya masih mengandalkan warnet. Mulai tahun 2011, fasilitas sendiri bermodalkan internet seluler mulai digunakan karena peningkatan frekuensi penggunaan, waktu penggunaan yang tidak beraturan, dan kebutuhan kuota yang belum terlalu besar.
Sebagian besar waktu pun habis di luar rumah sehingga memiliki koneksi yang hanya bisa dinikmati di rumah bukanlah pilihan yang tepat. Ditambah lagi, fleksibilitas diperoleh dengan layanan seluler, tidak ada durasi berlangganan minimum alias langsung tinggalkan jika lemot!
Dengan biaya relatif rendah, saya aktif dan bebas berekspresi secara daring. Menyuarakan pemikiran di blog, Twitter, Facebook dan situs UGC (contohnya seperti Kompasiana ini), mengunggah karya foto dan video di Instagram dan YouTube, mengulas gawai pilihan, serta memeroleh uang dari hadiah lomba blog dan honorarium media massa.
Penyaluran kesenangan pun bisa menghasilkan. Rekan lainnya mungkin memiliki caranya sendiri, bisa dengan berjualan daring, menyediakan jasa pekerja lepas, mengunggah konten paid promote dan endorsement, menjual foto bidikannya di ShutterStock, serta mengandalkan iklan AdSense dari konten buatannya.
Memasuki masa pandemi COVID-19, semua aktivitas berjalan dari rumah. Kuliah dan rapat organisasi secara live streaming, kursus online untuk menambah kemampuan diri sekaligus meningkatkan nilai resume, bete tidak bertemu teman dan diam #DiRumahAja berarti lebih lama berselancar di media sosial dan YouTube, magang juga di rumah, semuanya butuh kuota internet yang lebih besar dengan kecepatan stabil.
Biaya pun meningkat dan langganan internet kabel menggoda, tetapi tempat tinggal tidak memungkinkan untuk pemasangannya. Jika memungkinkan pun, tentunya saya berkeberatan menerima kehadiran petugas yang tentunya meningkatkan risiko penularan penyakit. Jadilah berlanjut dengan internet seluler.
Banyak di antara mereka yang sebelumnya sudah berlangganan internet kabel di rumah juga beralih ke internet seluler. Sejak pandemi datang, kecepatan koneksi menurun dan sering tidak stabil sehingga perlu terus melakukan reconnect, apalagi ketika hujan turun.
Keluhan kepada pengelola sudah disampaikan, tetapi layanan tak kunjung membaik dan teknisi juga tak datang ke rumah. Baik yang bekerja maupun yang bersekolah, kegiatannya sangat sering terganggu dan sekali gangguan bisa memakan waktu sampai hitungan jam.
Belum lagi, asal mati listrik, modem pun mati sehingga koneksi internet putus padahal aktivitas tetap harus berjalan melalui ponsel dan laptop. Daya jangkau modem juga terbatas khususnya pada rumah dengan banyak sekat sehingga pengguna harus duduk di dekat modem untuk memeroleh kecepatan terbaik.
Sedangkan, berada di rumah terus-menerus tentu menimbulkan kebosanan dan pengguna pastinya ingin berpindah-pindah lokasi untuk mengembalikan semangat jika memungkinkan. Kondisi ini terus terjadi sehingga lama-lama mereka lebih mengandalkan tethering dari ponsel.
Masalah berikutnya datang ketika kuliah atau mengerjakan tugas magang. Konsentrasi penuh tentu tidak memungkinkan saya untuk sebentar-sebentar menengok ponsel dan cek sisa kuota ketika sisa kuota sudah tergolong mepet.