Demi memikat para gadis imut, seorang don juan alias playboy rela merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli mobil pribadi sebagai modal jalan berdua. Dengan modal pas-pasan, dia berusaha mendapatkan harga termurah dengan kapasitas terbanyak tanpa ingin pamornya jatuh karena membeli produk berkelas LCGC atau membeli mobil bekas. Berbagai mobil Low-MPV sejuta umat dilirik, tetapi harganya kini amat mahal. Apakah si don juan punya pilihan untuk berpaling?
1. Toyota Avanza 1.3 G
Supaya meyakinkan sang pujaan hati, mobil haruslah milik sendiri, bukan pinjaman apalagi sewaan. Demi aftersales mumpuni nan terjangkau dan resale velue yang terjaga, sejak belasan tahun lalu banyak orang, menengah sampai kaya, pertama kali akan memilih Toyota Avanza 1.3 G sebagai tunggangan. Muat banyak, mesin irit, bukan varian terendah yang seringkali dianggap menurunkan gengsi, dan bukan juga varian tertinggi bermesin lebih besar, siapa yang menolak pesonanya?
Merespon tekanan Mitsubishi Xpander, Toyota memberikan minor facelift berupa grille depan yang lebih mirip Vellfire, interior yang sedikit lebih kaya fitur, dan lampu belakang sedikit lebih sipit. Aksen chrome juga lebih banyak, sama seperti yang terjadi di Daihatsu Xenia. Naik kelas dilihat dari depan, tetapi dari belakang lebih cantik yang lama, belum lagi interiornya sami mawon. Berapa harga yang harus dibayar? Hampir Rp209 juta untuk transmisi manual 5-percepatan dan Rp220 juta untuk transmisi otomatis 4-percepatan, dipotong Rp5 juta yang sudah cukup besar di awal tahun. Mahal juga ya dibanding dulu yang "hanya" seratusan.
Sisi eksteriornya tak asing lagi mengingat status mobil yang merupakan pujaan sejuta umat bersama Daihatsu Xenia. Kaca spion tanpa lampu sen, penampilan polosan tanpa konde (roof rail), dan rear spoiler dengan lampu rem di bagian atas. Biasa saja, elegan juga kurang, sporty pun tidak sama sekali.
Masuk ke dalam, interiornya masih mirip sekali dengan Toyota Avanza generasi sebelumnya. Menggunakan konsep pewarnaan two-tone kombinasi warna hitam dan beige, joknya masih menggunakan bahan fabric, layout kursi masih seperti yang dulu, bahkan dasbornya pun tak ada inovasi sama sekali. Jangan berharap MID layar besar dengan pengukuran konsumsi BBM secara digital, semuanya masih sama seperti dahulu. Akan tetapi, Avanza tak sendiri karena Honda Brio RS terbaru pun melakukan hal serupa, sama-sama kudet.
Hal yang berubah adalah kini pengatur AC manual yang diputar ke kiri dan kanan itu sudah bermetamorfosis menjadi pengatur AC digital dengan tombol ke atas dan ke bawah. Sayang, pengaturannya belum berupa temperatur seperti pada Suzuki Ignis dan masih berupa level pendinginan. Hanya berubah bentuk, tetapi belum berubah sistem. Hadeh.
Pembaruan interior kedua yang saya sadari adalah head unit yang kini sudah mengusung sistem layar sentuh dan bisa dikendalikan melalui steering switch di gagang setir. Mengingat mobil ini memang banyak digunakan oleh keluarga, sudah sepatutnya disediakan alat untuk menonton film meskipun penempatan layar di bagian depan kurang pas. Mengingat hal ini berbahaya bagi pengemudi dan menurut sales-nya pun mobil ini tidak punya kamera parkir, mengapa tidak menggunakan head unit single-DIN biasa saja di bagian depan dan kemudian dipasangkan layar di atap mobil seperti yang pernah diterapkan oleh Nissan Livina? Jarak melihatnya jadi tidak jauh dan lebih nyaman tanpa perlu melotot kan, bosque?
Sisanya cenderung lebih ke hal-hal yang menurut saya bikin jengkel. Meski kini power outlet sudah merambah baris kedua, tetap saja bentuknya membuat kita harus membeli car charger. Padahal, dengan daya maksimal hanya 60 W, penggunaan yang masuk akal pasti seputar mengecas smartphone dan oleh karena itu mengapa tidak diberikan slot USB saja untuk mempermudah pengguna? Inisiatif yang bagus, tetapi belum maksimal ya. Jam digital di konsol tengah yang di generasi awal terletak di antara head unit dan pengatur AC juga belum muncul lagi, masak penumpang harus menengok sampai ke dasbor pengemudi atau mengecoh konsentrasinya hanya untuk bertanya jam ketika handphone mati kehabisan baterai dan head unit dimatikan.
Ini yang paling menyebalkan. Head rest di bagian tengah baris kedua membuat saya yang selama ini doyan tidur di Avanza E 2013 dengan sandaran empuk dan kepala sedikit tertekuk kini kehilangan posisi terbaik. Jika head rest dicopot pun, pasti ada tonjolan yang tidak menyenangkan dan itu sama saja dengan sensasi duduk di bangku depan.
Kalau seperti ini, belum lagi keberadaannya yang sejuta umat itu juga mencakup mobil dinas, mobil rental, taksi konvensional (dalam versi Transmover), dan taksi online, don juan tentu tak mau bawa doinya di sini. Meski memang mobil ini terbukti mampu bertahan dengan kondisi banjir tinggi seperti di Jakarta pada 2013, saya sih akan mencari alternatif lain dengan harga paling mahal setara mobil ini.