Hampir sebulan lalu, Selasa, 22 Januari 2019, menjadi hari bersejarah ketika Michelin, produsen ban asal Perancis yang menjadi pemasok tunggal di balap motor MotoGP, memperlebar jejak usahanya di Indonesia dengan mengakuisisi PT Multistrada Arah Sarana Tbk. (IDX : MASA) sebagai salah satu produsen ban lokal terbesar.
Ketika sebelumnya harga saham terus melesat, pengumuman akan rencana tender offer justru disambut dengan pelemahan hingga 15 poin pada penutupan keesokan harinya, Rabu, 23 Januari 2019. Ketika analis saham sibuk menghitung apakah akuisisi ini tergolong murah atau mahal, apakah kita berhenti menilai dampaknya sampai di sini saja?
Bisnis ban kendaraan di Indonesia terus bertumbuh seiring jumlah penduduk yang semakin banyak diikuti dengan penggunaan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat dan juga kendaraan industri yang terus meningkat. Ketika infrastruktur seperti transportasi publik dan kereta barang belum mumpuni, kondisi ini belum akan berubah.
Tak ayal, meski saat ini pabrikan ban cenderung merugi atau paling untung tipis, ke depannya usaha ini masih cenderung menarik untuk dilirik. Inilah yang dilirik oleh Michelin dan pabrikan lain yang sebelumnya dirumorkan terlebih dahulu tertarik masuk ke MASA, Hankook asal Korea Selatan.
Michelin tentu tak bodoh. Peluang ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk mempertebal pundi-pundi pendapatan global mereka sekaligus memperkuat posisi dalam mempertarungkan gelar produsen ban terbesar di dunia yang sangat sengit dan saling kejar-mengejar dengan Bridgestone.
Sekecil apapun pasar yang diincar, lebih baik dikuasai dibandingkan tidak. Sebesar apapun biaya yang diperlukan untuk merengkuh popularitas, pengeluaran sponsorship tak apa asalkan bisa menaikkan pangsa pasar dan ujung-ujungnya modal tersebut kembali juga. Pembiayaan akuisisi dengan dana internal menunjukkan permodalan Michelin yang sangat kuat, ya kan?
Belum lagi, ketika Bridgestone begitu kuat dan lakunya di pasar nasional, apa kabar Michelin? Hanya sedikit mobil mewah yang menggunakannya, sedikit distributor yang menjualnya, dan banyak orang khususnya mereka yang bukan penggemar MotoGP sama sekali tak tahu siapa itu Michelin. Bicara Michelin, mereka malah merujuk ke penilaian restoran berbintang. Kacau, besar di dunia tetapi tidak dikenal di Indonesia, apa kata dunia?
Oleh karena itu, Michelin rela merogoh kocek hingga Rp6,2 triliun untuk mengempit 80% saham MASA dan mengadakan tender offer sesuai peraturan pasar modal Indonesia. Perjanjian pun sudah diteken dengan salah satu pemegang saham pengendali sekaligus pimpinan utama perusahaan yaitu Bapak Pieter Tanuri.
Para investor yang sebelumnya lesu karena harga saham yang turun dari Rp600-an ke Rp200-an per lembar saham dan kondisi laba tipis yang baru diperoleh pada kuartal 3 tahun 2018 setelah terakhir untung tahunan pada tahun 2014 kini beralih menjadi perdagangan yang aktif dan harga meningkat signifikan.
Kontan mencatat, sejak September 2018 alias ketika rumor akuisisi oleh Hankook pertama kali mencuat hingga puncak tertinggi di Januari 2019 sesaat setelah penjualan terlaksana, harga saham melejit hingga lebih dari 150 persen. Jika ikut tender offer di harga sekitar Rp850/saham, keuntungan tambahan pun sudah di depan mata.
Menengok kondisi sekarang, harga ini tentu mahal mengingat rasio PBV yang lebih dari satu kali. Jika Michelin mau dan bisa memborong saham di bursa, tersedia PT Gajah Tunggal Tbk yang tentunya lebih besar dan populer untuk dibeli dengan PBV di bawah satu kali.