Lihat ke Halaman Asli

Haruskah Kenaikan BBM di Demo (Dengan Anarkis?)

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Haruskah kenaikan BBM kita demo rame-rame?

“Harus dong, yang sengsara kan rakyat kecil kalo BBM nya naik”, itu jawaban yang pernah kuteriakkan, ketika statusku masih mahasiswa sebuah universitas negeri yang tidak begitu terkenal, ketika ikut-ikutan demo saat BBM naik beberapa tahun yang lalu.

Dan sekarang kejadian yang sama terulang lagi, tapi semua aksi demo hanya bisa kutahu lewat layar TV, maklum aku sedang terusir keluar negeri. Terasa sedih ketika melihat kawan-kawan mahasiswa yang kadang “sedikit” anarkis dalam berdemostrasi, merusak fasiltas bahkan sampai harus berdarah-darah. Haruskah ini terjadi untuk menyelamatkan negeri? Tak adakah cara lain yang lebih bijak?

Well, aku yang menulis ini bukan ahli ekonomi, bukan pula ahli politik, bahkan aku selalu golput dan hanya akan memilih di pemilu suatu hari nanti, disaat anggota dewannya tidak lagi digaji seperti di norway saat ini.

Aku juga tak paham dengan permasalahan BBM, apalagi mengerti masalah energi, tapi sebagai manusia yang masih punya akal dan jari, aku coba mengetik.

Kemarin aku sempat menjadi “penerjemah” seorang pejabat daerah yang melakukan meeting dengan seorang profesor di sebuah universitas yang terkenal dengan technology geothermal di Jerman. Intinya mereka membahas tentang rencana training peralatan explorasi di beberapa titik di bumi pertiwi, walau Indonesia punya cukup sumberdaya manusia untuk hal ini, tapi butuh beberapa alih teknologi yang memang (hanya) dipunyai instasi si profesor ini. Dari kerjasama ini, keduanya akan saling menguntungkan, begitulah kesimpulannya.

Yang menarik adalah ketika kadang-kadang aku tidak tahu maksud istilah-istilah yang mereka gunakan dalam diskusi, tapi sebagai orang sombong, keterjemahkan saja apa adanya, toh mereka saling mengerti. Meeting pun selesai, kedua belah pihakpun senang.

Selesai meeting, aku menjumpai seorang kawan yang sedang PhD geothermal di kampus itu, dia asli indonesia, dosen sebuah kampus yang  juga tidak terkenal,  dan juga ikut dalam rapat tadi. Dia tahu bahwa aku tak tahu sama sekali dengan subjek pembicaraan, sehingga padanya aku meminta untuk dijelaskan kembali, tentang apa sebenarnya yang terjadi, berapa besar sumber daya energi yang kita punyai!.

Dia memulai dengan sebuah kalimat panjang dan wangi bak terasi. “tau gak kamu kalau 60% lebih sumber daya energy terbarukan ada di Indonesia? Kita punya persentase geothermal terbanyak di dunia, matahari yang selalu ada, anginnya kencang luar biasa? Ombak laut juga tidak kalah banyaknya? Kalau salah satu saja di gunakan, geothermal misalnya, 26 jam listrik gak akan mati-mati", sebut dia sedikit berhiperbola.

Aku menelan ludah, senyap, dan meminta di jelaskan lagi.

“kita punya kekayaan alam lebih dari apa yang kita butuhkan, sedang jerman cuma punya ini (menunjuk ke kepala), nah, kalo saja dari dulu ini (geothermal) kita garap, gak akan ada demon-terasi kayak di TV, memang biaya awal sedikit mahal, tapi entar kan bisa murah, gak perlu cari BBM lagi, mobil bisa pakai listrik, motor, kereta, tinggal cas waktu malam saja, bisa kan?” jelasnya lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline