Lihat ke Halaman Asli

Jemari Mulai Resah

Diperbarui: 22 November 2015   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Terdengar sayup suara seseorang memanggilku. Aku menoleh ke belakang, terbujur kaku menatap heran.. Itukah dirimu??

Rambut hitam sedikit ikal, alis yang tebal, tatapan lekat bola mata hitam itu menyorot padaku. Aku hanya diam, seolah terpaku di bawah sorotan lampu Ibu Kota malam itu.

Kaki jenjangmu melangkah perlahan, tersungging senyum tanpa keraguan. Yaaah senyuman yang masih sama seperti aku terakhir melihatmu. Entah kenapa, degup jantungku kian berdebar, bibirku kaku tak bisa lentur membuat sedikit lengkungan. Sorot mataku yang berbicara melalui binar mata tak percaya. aku harap kamu tak menyadari itu.

Tak lama jarak kita semakin dekat. Satu langkah lagi saja, akan membuatku terpanah cerita masa lalu. Seandainya aku bisa bebas berlari ke arahmu, memeluk erat tanpa melihat tatapan itu. Merasakan detak jantungmu di telingaku.

Juluran tanganmu membuyarkan lamunanku. Tanganku menyambutnya tanpa ragu. Kami bersalaman, yaah mungkin hanya salam persahabatan. Aku merasakan kehangatan jari jemari yang ukurannya lebih besar dari jariku. Mata kami bertemu, menatap malu malu. Ah sepertinya hanya aku saja yang malu..

Diantara suara keriuahan jalan, banyaknya manusia yang berlalu lalang. Tanganmu mengayun mengusap pelan kepalaku. Hal yang biasa dia lakukan setiap bertemu. Masih tersimpan tanya, kenapa disaat seperti ini kami bisa bertemu?? Setelah waktu yang sekian lama terlewati tanpa hadirmu.

Akhirnya kami memilih berbincang di cafe yang tak begitu ramai. Banyak cerita mengalir deras, keluar dari bibir mungilmu. Sampai akhirnya, tatapan sayu terpancar. Ada gurat kesedihan, bola mata hitam itu menjadi redup. Kepalanya mulai tertunduk. Menghembuskan nafas pelan.

Aku memberanikan menyentuh punggung tanganmu. Jarimu membalas mentautkan jariku. Ada kata yang ingin terlontar, tertahan keraguan. aku membiarkan dirimu memulai merangkai kata. Sepertinya kata yang sulit. Ada kegelisahan, keresahan mengalun bersama suara dentingan piano malam itu.

Aku melonggarkan tanganku, berhenti berharap pada kekosongan. Kamu tak mau melepaskan dekapan tanganku. Menariknya kembali, menggengngamnya lebih erat seolah takut kehilangan. Seakan tak mau aku pergi meninggalkan.

Sampai datang pagi, mataku terbuka, merasakan gelisah yang sama. Tersadar ruang rindu masih tersisa. Tiba-tiba dadaku mulai sesak. Suara alarm menampar mimpi.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline