"Kala Semesta Buntingkan Rahim Padi"
Sepasang kaki dengan betis kokoh dari petani tua itu menyetubuhi sawah, mengaduk-aduk agar gembur tanpa rekah. Dia tengah mengolah tanah garapan tanpa alat bajak berbantu kerbau ataupun mesin diesel.
Pada tiap jengkal tanah diselusuri dengan teliti, tiap ada rerumputan pengganggu padi dibersihkan agar kelak sawah jadi rumah tumbuh batang-batang penuh bulir kelak."Kapan pertanian Indonesia bisa maju kalau begini caranya?" tanya diri ini, setiap kali pergi ke Ubud Bali pada pagi hari, akan bertemu petani olah sawah bagai persetubuhan insan dan tanah asalnya.Sementara nun jauh di Amerika dan Eropa hampir seluruh sawah dirajam bajak besi berbantu mesin.
Bagai langit dan bumi petani tua di Ubud olah tanah dengan cara serupa nenek-moyangnya. Menyimak gerak lembut kaki-kaki kokoh susuri lumpur seolah jadi saksi laku kultur kuno, bersanding dengan lahan Silicon Valley. "Apakah ini ironi?"Pikir dan benak tersentak saat bertemu kosa kata petani Ubud : 'Biyukukung'. Paparan kata Biyukukung makin jelas saat pandangi papan nama sebuah Hotel di jalan Sugriwa Ubud.
Tergerak oleh rasa penasaran sebuah pertanyaan diberikan pada petugas pelayan tamu Hotel tersebut : "Gek (panggilan khas Bali untuk perempuan) Biyukukung artinya apa?" "Biyukukung itu nama satu laku upacara warga ubud untuk menghormati laku semesta saat bulir padi bunting," jawab petugas Hotel itu.Awalnya geli dapat penjelasan makna, Biyukukung selanjutnya makin penasaran. Apa sebab sang Padi begitu dihormati petani Ubud, hingga saat jelang bunting perlu upacara khusus? Apakah ini hubungan intim antara petani dan semesta?Konsep padi bunting terus usik pikiran. Berikutnya riset sederhana pun bergerak cari penjelasan.
Dalam sebuah jurnal tentang sistem Subak (Irigasi persawahan), bagai terhanyut hingga tercengang, tergelar begitu sakralnya sistem pertanian tradisional Bali.Subak bukan semata-mata mekanisme irigasi, bukan sekadar alat tekno-sosial, melainkan pemahaman dasar para petani Bali bahwa pertanian merupakan satu entitas tersendiri yang terajut dengan ekosistem dan spiritualitas.
Petani di daerah tertentu akan menyesuaikan perilaku bertaninya dan bukan hanya berdasarkan kondisi tanah serta air di tempat itu saja, tapi dengan seluruh elemen alam, termasuk nilai religi masyarakat setempat dengan para Dewa.Ada sekitar 27 nama upacara yang dilakukan petani Bali, dari mulai untuk penyemaian benih, menyiangi, pengangkutan, penyimpanan, sampai pengeringan.
Setiap upacara petani lakukan korespondensi dengan Dewa tertentu sesuai tujuan dan harapannya. Ini dilakukan fase demi fase penuh telaten.Pada fase Biyukukung, para petani berdoa kepada Bhatara Surya untuk restu dan perlindungan. Pada fase pengeringan, atau Nedunang Pari, mereka minta restu pada Bhatari Sri untuk proses akhir dari padi mereka.Sebelum petani kenal pestisida dan insektisida, hama diusir hanya dengan mantra dan sesajen. Setiap hama memiliki mantra dan sesajennya sendiri; mantra penanganan hama tikus lain dengan mantra mengusir monyet, dan seterusnya.
Penjelasan tentang Subak membuat evaluasi ulang tentang simpulan awal atas petani tua di sawah pagi itu. Selama ini beberapa petani di negeri ini begitu mengagungkan pertanian modern (berbantu mesin) dengan orientasi singkat waktu dan keberlimpahannya hasil untuk kebutuhan manusia.Namun dalam percepatan itu, putus hubungan sakral petani dengan semesta.
Tanah hanya tanah, Bibit cuma bibit, Padi hanya padi. Semuanya dijadikan alat guna melayani kebutuhan manusia, lalu serta merta pakai mesin teknis merajam semuanya.Saat negeri ini membahas intensifikasi pertanian, selalu ada pembicaraan seberapa besar lahan gambut yang bisa disulap jadi subur, seberapa besar volume panen bisa digenjot, seberapa banyak padi bisa ditimbun.
Hingga saat proses terjadi, entah berapa juta ton racun tumpah merasuk ke tanah, dari mulai pupuk kimia hingga pestisida, atas nama kemakmuran umat manusia.Saat pertanian menjadi soal mekanis, seolah lupa bersimpuh pada alam yang melimpahkan begitu banyak secara cuma-cuma. Tak ada lagi kultur memaknai makanan di piring sebagai wujud karya persetubuhan matahari dan air, saat benih bersemayam dalam rahim tanah, tumbuh dan mengandung, untuk kelak kembali ke tanah, menunggu persetubuhan berikutnya antara matahari dan air.