Lihat ke Halaman Asli

Stigma Belanda di Ranah Minang

Diperbarui: 27 Oktober 2015   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untuk pertama kalinya Kapal-kapal Belanda singgah di Sumatera Barat terjadi di pelabuhan Tiku pada awal dasawarsa pertama abad ke 17, namun baru tahun 1905 seluruh penjuru Ranah Minang berhasil mereka kuasai dan berakhir pada Penyerahan Kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949.

Berkat kelicikan, kelihaiannya dengan berbagai tipu dayanya Kolonial Belanda pada pertengahan abad ke 17 berhasil mnenancapkan kukunya di daerah pesisir Sumatera Barat. Walaupun kawasan tersebut bagian dari Kerajaan Minangkabau, namun pada masa itu kerajaan tersebut  hanya tinggal merupakan nostalgia dalam angan-angan orang Minang saja. Walau Rajo Tigo Selo (Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat) masih bertakhta di Pagarruyung dan sangat dihormati oleh seluruh orang  Minang, namun angkatan bersenjata atau kekuasaan mereka tidak punya. Berbeda dengan Kerajaan Aceh yang mempunyai armada niaga dan angkatan laut yang sangat kuat. Dalam keadaan dan situasi tersebut Aceh berhasil menguasai daerah pesisir Sumatera Barat terutama dalam bidang perdagangan.dengan menempatkan wakil-wakilnya yang disebut “Panglima”, di kawasan tersebut, tanpa bertindak sebagai penguasa kawasan tersebut.    

Dengan situasi yang demikian kolonial Belanda mulai menancapkan kukunya si Sumatera Barat, namun untuk berdagang di kawasan tersebut pihak Belanda harus terlebih dulu mendapat izin dari Sultan Aceh. Akan tetapi lisensi dari Sultan Aceh saja tidak cukup, sebagaimana pedagang Eropa lainnya, pihak Belanda/VOC harus mengadakan perjanjian dengan para pemimpin/penghulu dan raja-raja kecil setempat. Pihak Belanda / VOC suka sekali membuat perjanjian-perjanjian demikain dengan tujuan memonopoli perdagangan. Setiap kali perjanjian mereka rubah tergantung situasi dan kondisi. Sewaktu mereka lemah perjanjian / kontrak bersifat minta perlindungan dan berjanji tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan mencampuri urusan dalam negeri. Akan tetapi setelah mereka kuat, Belanda/VOC hanya mendiktekan saja segala kehendaknya dan akhirnya kontrak/perjanjian yang mereka bikin sama sekali melecehkan penguasa-penguasa setempat. Tujuannya adalah mengeruk keuntungan sebesar mungkin.

“Cando Balando Mintak Tanah”

Semua perjanjian semaunya dirubah dan ditinjau ulang dengan tujuan mendapatkan konsesi-konsesi baru dan menuduh pihak penguasa setempat gagal melaksanakan perjanjian dan Belanda beranggapan bahwa bangsa kita “ tidak bisa dipercaya, walaupun sebenarnya pihak mereka sendiri banyak melakukan pelanggaran/ tidak menepati janji.

Berkat kelicikannya dengan menghalalkan semua cara, intrik, suap, adu domba antara para pemimipin / penghulu lokal (yang pro Aceh dan anti Aceh) sampai dengan pemakaian kekuatan senjata, akhirnya pihak Belanda yang semulanya datang minta perlindungan berhasil mendapatkan kontrak perjanjian menjadi penguasa tunggal dan mengusir para saingannya, seperti Aceh,  Inggris, Portugis dll. Pada Perjanjian Painan tahun 1663, Kesultanan Indrapura menyerahkan Kawasan Painan, Salido beserta tambang-tambang emasnya yang terletak di sebelah Selatan Padang. Secara resmi, mulailah, era kolonialisme Belanda di Ranah Minang.   

Kelicikan Belanda yang setiap kali mempergunakan cara menyodor-nyodorkan revisi perjanjian untuk memperoleh konsesi yang lebih besar akhirmya memimbulkan stigma pada masyarakat Minang, “Cando Balando mintak tanah” (Bagai Belanda minta tanah), dikasi hati minta rempelok.

Orang Belanda dianggap ular dan sumber penyakit.

Pada saat bergejolaknya Perang Padri, Belanda berhasil menyusup ke sentra Ranah Minang, ke Luhak nan Tigo,yakni Luhak Tanah Datar (Pagarruyung), Luhak Agam (Bukittinggi) dan Luhak 50 Kota (Payakumbuh), namun pada bulan Januari 1833 Pemerintah Hindia Belanda dikejutkan oleh Pemberontakan serentak Kaum Pidari (Padri). Perlawanan rakyat secara serentak ini yang disebabkan oleh sebab sistem pajak, kerja paksa tanpa bayaran dan tindakan sewenang-wenang para petugas pemerintah kolonial; meminta banyak korban di kedua belah pihak.

Karena merasa terdesak dan untuk memenangkan perang pada bulan Oktober tahun 1833 dan dengan tujuan membujuk rakyat Minangkabau pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan pengumuman resmi atas nama Raja yang berisi janji resmi khidmat pemerintah Belanda pada rakyat Minangkabau, yang dikenal dengan Plakat Panjang. Berbeda dengan Perang Diponegoro atau perang-perang lainnya di Nusantara yang perjanjiannya memberikan kesempatan pada musuh yang dianggap lemah dan pihak Belanda berada pada posisi yang kuat. Pada Plakat Panjang Pemerintah Hindia Belanda tidak saja mengakui semua kesalahannya, tetapi malahan menjanjikan yang muluk-muluk. Dengan janji khidmat ini rakyat dan banyak para tuanku pemimpin Pidari terpancing akhirnya bersedia berdamai. Setelah empat tahun perjuangan sengit dan dengan bantuan rakyat Belanda berhasil menaklukkan Bonjol dan dengan secara licik pihak Belanda berhasil menjebak dan menangkap Tuaku Imam Bonjol.

Mengenai Plakat Panjang ini, Harian Belanda yang terbit di Padang sendiri menulis pada awal abad ke 20 sbb.: .....” adalah dokumen Negara yang pintar tiada taranya, yang berhasil menundukkan sebuah bangsa yang belum takluk, angkuh, dan merasa dirinya kuat. Sampai hari ini, fakta tersebut masih tergores di hati sanubari bangsa Melayu.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline