Lihat ke Halaman Asli

Yuriadi

| Penulis lepas | https://www.kompasiana.com/ceritayuri

Pentingnya Mengedepankan Adab dalam Komunikasi Publik Figur di Era Digital

Diperbarui: 4 Desember 2024   10:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi: aktivitas merekam video menggunakan ponsel. Sumber: pixabay.com @mohamed_hassan)

Pada era digital yang penuh dinamika saat ini, publik figur baik yang merepresentasikan diri maupun pilihan golongan yang diwakilinya, rentan menjadi sorotan utama. Hal ini bisa menjadi positif maupun sebaliknya, bisa membangun maupun bisa menghancurkan persepsi masyarakat tentang diri atau golongan yang diwakilinya. 

Salah satu isu terbaru menyangkut seorang tokoh yang menuai kritik setelah video yang menurutnya adalah bahan candaan kepada seorang pedagang kecil  yang kemudian dianggap oleh masyarakat, memperlihatkan gestur dan ucapan yang kurang pantas serta kemudian menjadi viral di media sosial.  Insiden ini mengingatkan kita akan pentingnya adab dan seni komunikasi publik, terutama bagi figur yang memiliki tanggung jawab sosial besar. 

Dalam ruang lingkup media sosial, yang hampir tidak ada batasnya, setiap ucapan dan tindakan bisa diperbesar dan diperdebatkan oleh khalayak, sehingga memerlukan pertimbangan yang lebih matang dari para publik figur dalam berinteraksi.

Adab Sebagai Dasar Interaksi
Dalam khasanah kebudayaan timur dan barat, adab merupakan elemen fundamental dalam berinteraksi, baik dengan sesama manusia, alam, maupun Tuhan. Pemikir besar seperti Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun menekankan bahwa adab adalah pondasi akhlak yang baik. Adab meliputi tutur kata, sikap, dan tindakan yang mencerminkan penghormatan serta empati kepada orang lain.

Sementara itu, dalam tradisi budaya lain, seperti Konfusianisme di Tiongkok, konsep tata krama (li) menekankan pentingnya harmoni sosial melalui perilaku yang sopan. Dalam filsafat Barat, Immanuel Kant berbicara tentang penghormatan terhadap individu sebagai tujuan, bukan alat, sebuah gagasan yang sejalan dengan konsep adab dalam Islam maupun budaya lainnya.

Konsep empati sering dibahas dalam psikologi dan teori komunikasi, dengan berbagai model yang menggambarkan perkembangannya dari tingkat yang lebih sederhana hingga yang lebih kompleks. Secara umum, empati melibatkan kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, yang bisa dilihat dalam beberapa tingkatan. 

Empati kognitif (cognitive empathy) merujuk pada kemampuan untuk memahami perasaan orang lain tanpa terlibat secara emosional, yang berkaitan dengan perspektif dan penalaran. 

Empati emosional (emotional empathy), di sisi lain, adalah kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain, menciptakan ikatan emosional. Lebih lanjut, empati sosial atau perilaku (compassionate empathy atau empathic concern) melibatkan perasaan dan dorongan untuk membantu orang lain, sering terlihat dalam tindakan nyata.

 Tingkatan tertinggi, empati yang dalam (deep empathy), mengharuskan seseorang tidak hanya memahami dan merasakan perasaan orang lain, tetapi juga mengerti konteks lebih luas yang mempengaruhi emosi tersebut, melibatkan sensitivitas terhadap nuansa dalam hubungan sosial dan lebih sering dijumpai dalam konteks hubungan interpersonal yang sangat dalam.

Empati, dalam konteks ilmiah, juga terkait dengan teori pengaruh sosial dan komunikasi publik, yang menekankan pentingnya keterlibatan emosional dalam komunikasi untuk membangun hubungan yang autentik. Dalam komunikasi publik, seperti yang telah dibahas dalam teori Public Sphere oleh Jurgen Habermas, empati memainkan peran penting dalam menjaga dialog yang konstruktif dan memahami pandangan yang berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline