Lihat ke Halaman Asli

Sepotong Cerita Remaja part 1

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jalanan masih basah. Hujan sore tadi, menyisakan udara yang lembab dan dingin. Terasa sangat menusuk.

Aku mempererat jaketku. Aku menatap sekeliling. Menunggu kehadiran seseorang. Terdengar lantunan musik Boyfriend – Ashley, memecah lamunanku. Aku meraba tasku, mencari sumber bunyi tersebut. Aku menatap layar Hpku kemudian tersenyum. Ternyata orang yang kutunggu, Andra, yang menelponku

” Hello? Assalamualaikum.” ucapku

” Waalaikumsalam. Kamu di mana, Rin? ”

” Aku udah di depan Kedai Bonheur. Kamu di mana? ”

” Aku udah di parkiran. Emmm tunggu sebentar. Nggak nyampe 5 menit kok. Yaudah, aku tutup ya telponnya.

” Sip, Oke deeh.”

Andra menutup telpon. Aku tersenyum kemudian merapikan ikatan rambut, ikat ekor kuda kata orang.

Hari ini aku memakai kaos polos warna orange dilapis dengan jaket warna merah.

Tak sampai 5 menit Andra sudah di sampingku. Kami memilih tempat duduk lesehan. Hatiku tak tenang. Tentu karna ia bukan kekasihku. Yaah, biarpun kami sudah kenal lama. Namun, baru kali ini aku pergi berdua dengannya. Pertegas BERDUA!

Hari ini malam minggu, malamnya para pasangan. Tak heran tempat ini cukup ramai oleh para pasangan. Sedangkan aku dan dia, kami sama-sama single-ersssss.

Mungkin karna ini pertama kalinya kami pergi bersama, rasa canggung melingkupi. Sampai akhirnya Andra memulai pembicaraan ” Ngomong apaan kek, jangan malah kayak gunung es gitu. ” Andra pun tersenyum iseng.

Ah, senyum itulah yang kusuka darinya. Setelah itu mulai banyak pembicaraan di antara kami. Lantunan musik di kedai itu menemani pembicaraan kami.

Tak lama kemudian, makanan pesanan kami datang. Kami menghentikan pembicaraan dan mulai melahap pesanan kami.

Sejujurnya, pikiranku melayang pada sms-smsnya. Sms-smsnya yang manis terus menemani hariku. Tapi yaa begitulah, aku takut itu hanya harapan palsu. Bisa aja dia cuma PHP!

” Rin? Rin? Arinza Putri Auliaaaaaaaaa,” ucapnya.

” Ha? Eh, eh kenapa, Ndra? ” ucapku kaget.

” Haha. Ya kamu itu, makan apa ngelamun, Non? ” ucapnya sambil tersenyum.

Aku tersenyum malu ” Biarin yeee. Yang penting kan masuk perut.” sahutku sambil menjulurkan lidah.

” Idih, titisan ratu uler ya lu? Melet-melet gitu.” jawabnya.

” Eh sekata-kata yaa lo ini. Mana ada titisan ratu uler secantik gue?” jawabku tak mau kalah.

” Punya kaca kagak, Non?” ucapnya sambil terkekeh.

Aku tak menjawabnya dan pura-pura ngambek.

” Aduh, malah manyun-manyun. Aku kasih sambel deh tu bibir.” ucap Andra diiringi tawa.

Tingkahnya menyebalkan tapi aku suka. Dan itulah yang membuatku sering kangen padanya.

” Aku timpuk pake sendal kalo kamu sampe ngasih sambel di bibirku yang seksooong ini,” ancamku.

Dia malah semakin tertawa. Entah kenapa aku pun ikut tertawa. Malam ini pun menjadi malam yang manis bersamanya. Waktu terasa sangat cepat. Malam mulai larut. Sudah saatnya kami berpisah.

Kami berjalan berdampingan ke arah parkiran. Canda dan tawa mengisi langkah. Saat sudah sampai di parkiran, mendadak ia menggenggam tanganku. Ahh jiwaku serasa melayang. ” Makasih ya buat malem ini, Nona Arinza” ucapnya sembari memberikan senyuman yang lembut.

Pipiku mulai panas. Aku membalas senyumnya dengan kikuk.

Semenjak malam itu, hubungan kami makin dekat. Terkadang ia melemparkan gombal gembelnya padaku. Rasanya melayang, tapi sekaligus khawatir. MHP, menanti harapan palsu.

Tanpa kusadari.,aku mulai menyayanginya. Aku takut kehilangan dirinya. Lebay ya? Tapi whatever, itu nyata.

Hingga akhirnya kami jadian. Aku bahagia. Terajut banyak kisah dengannya. Aku terlalu dalam menyayanginya. Mungkin bisa dibilang aku cemburu terhadap semua gadis di dekatnya. Tak peduli itu hanya temannya. Tetap saja sakit melihatnya dekat dengan gadis lain.

Aku memantau semua kegiatannya, terkadang saat egoku keluar, aku benar-benar membuatnya kesal padaku. Membuatnya kecewa padaku.

” Kamu beda dari yang kukenal dulu. Padahal aku harap kamu bisa lebih ngertiin sifaku ini.” ucapnya suatu hari.

Mungkin hanya 2 kalimat, namun itu sangat menohok hatiku. ”Apa salahnya aku meminta sedikit perhatian darimu, Ndra? Salah? ”

” LEBAY tahu, nggak! Aku kira kamu itu nyenengin. Nggak posesif kayak gitu. Ternyata. Sama aja sama sebagian kaummu yang lain. Enek tahu! ” bentaknya. Kali ini aku bener-bener nggak kuat. Aku memandangnya, kurasa ia serius. Namun, aku kecewa. Aku pergi meninggalkannya tanpa berkata apa-apa. Yang lebih sakit lagi, ia tak mengejarku ataupun mengirimkan sms permintaan maaf. Dan lebih sakit lagi, mungkin di matanya, akulah pihak yang salah.

Air mataku jebol. Banjir. Tak mungkin aku menangis di rumah. Bisa-bisa malah diintrogasi sama Yang Mulia Mama.

Aku mendatangi rumah sahabatku, Tria. Ia kaget wajahku kacau. Untungnya ia tak banyak bertanya. Ia memelukku dan memberikan semangat untukku. Saat tangisku mereda, ia menanyakan mengapa aku menangis.

” Perasaanku lagi kacau, beb. Aku nggak apa-apa kok.” sahutku. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline