Lihat ke Halaman Asli

Apatis Versus Aktivis

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu hari di sebuah kampus,

Umam: “Bro, nanti jangan lupa ya kita ada kumpul angkatan di tempat biasa.”

Imam: “Emang mau ngapain sih? Kayaknya hampir tiap hari kumpul angkatan. Males banget.”

Umam: “Lho kita kan ada tugas buat bikin acara donor darah se-universitas.”

Imam: “Iya tau, buat apa sih repot-repot bikin acara gituan. Toh yang kita juga gak dapat apa-apa, mending belajar di kostan.”

Mendengar pernyataan Imam tersebut, Umam menjadi marah.

Umam: “Dasar apatis (sambil membentak Imam). Kamu itu kuliah bareng-bareng di sini, dimintain tolong kerja bareng aja gak mau. Lihat tuh temen-temen kita juga mengorbankan waktu belajarnya untuk acara ini, untuk kepentingan bersama.”

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sejak resmi menjadi mahasiswa baru di kampus ini, saya sering mendengar kata-kata keramat yang hampir selalu diucapkan para senior. Apatis, tidak care, boikoter. Dan tentu saja kata-kata tersebut selalu disandingkan dengan opposite-nya. Aktivis, motor angkatan, penggerak, dan lain sebagainya. Awalnya saya kurang begitu paham kenapa harus ada istilah-istilah tersebut, khususnya di kampus tercinta ini. Namun, seiring rasa penasaran saya, mulailah bermunculan kata sandi yang seakan mampu menjawab keingintahuan saya selama ini.

Ternyata, apatis menurut versi mereka adalah mahasiswa yang tidak mau mengikuti sistem kaderisasi yang ada, tidak peduli dengan apa yang dilakukan teman-temannya untuk kepentingan bersama, tidak suka organisasi, tidak suka diatur. Dan akibatnya, para mahasiswa apatis tersebut akan dicap buruk, tidak diijinkan mengikuti kegiatan dari organisasi mahasiswa, didiskriminasi dari pergaulan. Intinya, seorang apatis itu akan terancam keberadaannya di kampus dan dianggap tidak bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat layaknya para aktivis. Seolah-olah mahasiswa ideal itu seperti para aktivis, yang menawarkan beragam kemudahan dan kelebihan sebagai bekal memasuki dunia kerja.

Karena anggapan itu, banyak mahasiswa baru termasuk saya yang berlomba-lomba mengikuti screening disana sini agar bisa bergabung menjadi anggota di organisasi yang diinginkan. Ketika itu, saya berharap bisa mendapat banyak hal seperti networking dan softskill, seperti yang digembar-gemborkan senior. Namun, ketika saya sudah mulai masuk di organisasi, saya tidak sepenuhnya merasakan dan melihat apa yang selama ini dibicarakan tentang organisasi. Memang benar, dengan organisasi bisa menambah kapabilitas softskill kita, namun itu hanya  berlaku bagi mereka yang aktif mengembangkan diri saja. Sedangkan bagi mereka yang hanya puas di bawah bayang-bayang nama besar organisasinya tentu tidak akan mendapat apa-apa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline