Lihat ke Halaman Asli

Disaat Wibu Menghadapi Tahun Baru

Diperbarui: 9 Januari 2024   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tahun baru adalah saat dimana orang-orang berharap menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya sembari membuat resolusi-resolusi kedepannya. Tahun baru memang sudah berlalu lebih dari seminggu yang lalu, tapi suasananya masih bisa kita rasakan sampai hari ini. 

Beberapa dari kita mungkin menganggap bahwa ada atau tidaknya perayaan tahun baru tidak akan berdampak pada kehidupan kita. Kita mungkin sudah lelah membuat bualan berbagai resolusi yang pada akhirnya tidak bisa kita laksanakan. Prinsip sederhananya, semakin rendah harapan kita, semakin rendah kekecewaan kita apabila harapan tersebut tidak terlaksanakan.

Wibu sebagaimana manusia biasa lainnya juga mempunyai harapan di tahun baru ini. Seperti yang kita tahu, wibu adalah orang yang menggemari anime (animasi Jepang) maupun manga (komik Jepang). Mungkin hal seremeh bisa menonton tayangan anime favorit mereka yang sudah memasuki season barunya adalah kebahagiaan tersendiri bagi mereka. 

Dalam hal ini, bukan berarti penulis adalah seorang wibu dan mendukung sepenuhnya seluruh perbuatan yang dilakukan oleh wibu. Penulis juga menyadari bahwa ada beberapa oknum wibu yang bertindak amoral dan sangat memalukan. 

Namun, kita juga harus menyadari bahwa banyak dari wibu yang masih peduli dengan sesama dan lingkungannya dengan tetap melaksanakan ibadah dan kegiatan lainnya dengan teratur dan tepat waktu.

Meski begitu, di tahun yang baru ini wibu masih menjadi sasaran cacian bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal itu ditambah dengan kebiasaan beberapa oknum wibu yang malas mandi sehingga wibu seringkali dicap 'bau bawang'. 

Hal itu membuat banyak wibu yang muak dan lelah karena berbagai stigma buruk dari masyarakat di sekitarnya. Padahal mereka merasa tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat.

Setelah mengetahui hal tersebut,  kita menyadari bahwa standar kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. Kita tidak boleh menghakimi begitu saja standar kebahagiaan orang lain. Selama hal itu tidak merugikan kehidupan orang banyak, maka hal tersebut sah-sah saja untuk dilakukan. 

Namun, hal yang sebenarnya terjadi tidak bisa dinilai semudah itu karena hal yang menurut kita tidak akan berdampak buruk kepada orang lain pada kenyataanya tetap menghasilkan beberapa dampak buruk kepada orang lain. 

Hal itu menimbulkan berbagai paradoks. Kita tidak boleh menghakimi standar kebahagiaan orang lain karena tiap orang mempunyai interpretasinya sendiri-sendiri. 

Namun, interpretasi tersebut bisa saja merugikan beberapa orang. Jika kita memilih dari awal untuk menghakimi kebahagiaan orang lain, maka itu akan sama buruknya dengan alternatif pilihan lainnya. Pada akhirnya kita tidak akan bisa menyenangkan hati setiap orang karena mereka mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline