Lihat ke Halaman Asli

Saatnya Kita Kembali ke Teknologi yang Ramah Lingkungan

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

2013-11-17-kembali

Saatnya Kita Kembali ke Teknologi yang Ramah Lingkungan


Dunia sedang berduka, saudara-saudara kita di Filipina sedang menghadapi musibah yang terburuk dalam dekade ini. Sebuah Topan yang kekuatannya melebihi biasa menghantam dan memporak-porandakan Filipina. Korban yang berjatuhan pun diprediksi bisa mencapai 10.000 orang, karena proses evakuasi masih berlangsung.

Seiring dengan bencana yang datang, berbagai pendapat bermunculan. Sebagian besar ilmuwan menyatakan bahwa pemanasan global menjadi pemicu kekuatan Topan yang sedemikian dahsyat. "Kita tahu bahwa permukaan air laut memanas di planet kita, jadi itu menunjukkan dampak langsung perubahan iklim pada karakter badai," kata Will Steffen, peneliti iklim dari Australia National University, seperti yang diberitakan Kompas.com.

Penduduk Dunia melalui kepala negara dan peneliti masing-masing masih berdebat tentang pemanasan global. Ada yang menyatakan bahwa itu mitos semata, karena "mereka" tidak ingin kita maju secara industri. Namun sebagian peneliti menyatakan bahwa pemanasan global itu nyata dan dampaknya tengah berlangsung. Kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrim yang biasanya tidak terjadi, dan mencairnya es di kutub merupakan bukti nyata dari pemanasan global. Dapat dimaklumi masih ada yang menyangkal pemanasan global, karena jika semua mengakui maka negara-negara yang berbasis industri dan menghasilkan gas emisi dalam jumlah besar harus "berhenti produksi". Hal tersebut tentu menjadi mimpi buruk bagi perekonomian mereka.

Akan tetapi diakui atau tidak penulis percaya bahwa pemanasan global nyata adanya. Banjir di kala musim hujan semakin "menggila". Di musim kemarau banyak daerah di Indonesia yang diberitakan kesulitan air bersih, sehingga harus menggali dan mengkonsumsi air limbah. Kadang ketika tidak ada hujan, beberapa daerah di pesisir dibanjiri air rob, karena air laut naik melebihi biasanya.

Permasalahan ini harus dicari solusinya. Sumber masalah terbesar dari pemanasan global adalah gas buang dari mesin berbahan bakar minyak bumi, terutama kendaraan. Jika kita mau mengakui itu dan ingin berubah ada solusi yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi gas buang tersebut, yaitu dengan mengganti sebagian besar kendaraan tersebut dengan tenaga hewan. Penggunaan tenaga hewan dalam transportasi akan lebih baik dibandingkan menggunakan mesin yang berbahan bakar minyak bumi.

1. Limbah dari Hewan lebih "hijau".


Banyak kriteria yang bisa digunakan dalam memilih kendaraan. Jika disuruh memilih penggunaan kendaraan antara bertenaga hewan dengan bertenaga minyak bumi, mungkin sekarang akan banyak yang memilih Sepeda Motor atau Mobil. Tapi hal tersebut terjadi karena masalah kebiasaan. Karena di Dunia terutama di Indonesia lebih banyak orang yang bisa mengendalikan Sepeda Motor atau Mobil daripada mengendarai Kuda.

Jika kita mendasarkan pemilihan kendaraan kita berdasarkan limbah yang dihasilkan maka mungkin akan lebih banyak orang yang akan lebih memilih Kuda. Hewan yang bisa digunakan sebagai tenaga pengangkut atau penarik tidak hanya Kuda. Anjing, Kerbau, Sapi, dan Gajah adalah beberapa jenis hewan yang telah dilatih untuk membantu manusia dalam berpindah tempat. Jika dikembangkan lebih lanjut mungkin akan lebih banyak lagi hewan yang bisa dilatih dan didomestifikasi.

Berdasarkan limbah yang dihasilkan penggunaan tenaga hewan jelas lebih hijau dibandingkan bahan bakar minyak bumi. Selama hidupnya hewan membuang kotoran tapi kotoran itu bisa dimanfaatkan. Pemanfaatan kotoran biologis diantaranya adalah sebagai pupuk atau penghasil biogas. Jika dikelola dengan baik industri pupuk organik akan lebih berkembang dan semakin banyak makanan organik yang baik untuk kesehatan manusia. Demikian juga dengan pemanfaatan biogas, salah satunya adalah untuk menghasilkan tenaga listrik. Bayangkan jika setiap kecamatan memiliki satu instalasi biogas yang bisa mendukung kebutuhan listriknya sendiri, tentu tidak ada lagi masalah "byar pet" dan demo kepada PLN, seperti yang ditulis saudari Zaschkya.

Lain halnya dengan kendaraan berbahan bakar minyak bumi. Limbah yang dihasilkan Mobil adalah karbon monoksida, yang jelas tidak baik buat kesehatan dan akan menumpuk di atmosfir mengakibatkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca adalah saat panas yang diterima oleh bumi tidak dapat terlepas bebas keluar angkasa. sebelumnya efek ini sangat bermanfaat, karena menyebabkan bumi lebih "ramah" bagi perkembangan manusia. Akan tetapi seiring efeknya yang terus meningkat, bumi menjadi semakin panas. Hal inilah yang sering disebut sebagai pemanasan global.

Meski sekarang ini telah dilaksanakan pengembangan dan penelitian akan energi alternatif untuk kendaraan, belum ada kendaraan yang cukup murah dan diproduksi secara industri seperti kendaraan berbahan bakar minyak bumi. Beberapa energi alternatif yang dikembangkan adalah Mobil bertenaga Listrik, bertenaga Surya, dan Biodiesel. Akan tetapi hal ini sebenarnya menimbulkan masalah yang lain. Mobil bertenaga listrik baik dari listrik rumah tangga maupun "solar cell" membutuhkan baterai yang mumpuni. Teknologi baterai yang ada belum mampu menjawab kebutuhan sehari-hari dan dalam proses produksi baterai tersebut ada limbah juga yang dihasilkan. Jika sebagian besar kendaraan dunia menggunakan biodisel maka bisa mengancam ketersediaan pangan kita, seperti yang ditulis saudara Tri Budiarto.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline