Lihat ke Halaman Asli

Kebijakan Kabinet Jokowi Menurut Saya...

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menapaki beberapa bulan pemerintahan kabinet "Jokowi" banyak kontroversi tercipta di masyarakat. Ada pihak yang mendukung namun cukup banyak yang kecewa. Kelompok yang kecewa "menjudge" pendukung kebijakan Jokowi telah "buta" dan terlalu "mendewakan" sosok presiden pilihannya. Di sisi lain pendukung kebijakan Jokowi menuduh segala protes dari pengkritik Jokowi adalah bentuk curahan sakit hati. Tapi itulah konsekuensi jadi pemimpin semua keputusan tidak bisa menyenangkan semua pihak, tapi selama memang didasari keinginan untuk memajukan bangsa dan negara niscaya dapat membawa kebaikan.

Sebagai warga negara saya juga merasakan dampak dari kebijakan yang diterbitkan baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu sekarang saya ingin membagi sudut pandang saya atas seluruh kebijakan yang saya ketahui (karena saya tidak tahu seluruh kebijakan yang telah dikeluarkan).

Pengurangan subsidi BBM

Biaya hidup saya secara otomatis ikut meningkat seiring peningkatan harga BBM. Kalau saya beli makanan yang telah siap di warung makan paling tidak habis tiga puluh ribu per porsi (ini harga di Palangka Raya). Kalau masak pun harga sembako telah ikut naik, meski kalau masalah harga cabai saya tidak terlalu terpengaruh karena kebetulan menanam sendiri di belakang rumah. Untuk kebutuhan sayur mayur seperti daun singkong dan kangkung masih bisa dipetik di tanah kosong dekat rumah (hehe, lumayan buat menghemat).

Dampak paling terasa bagi saya dengan peningkatan harga BBM ini adalah harga bensin eceran telah menjadi 10.000 rupiah. Sebelumnya saya biasa membeli bensin eceran seharga 8.000 rupiah. Saya sangat jarang membeli bensin di SPBU karena di Palangka Raya antrean mengisi bensin seringkali panjang. Sebagian besar yang mengantre adalah para "pelangsir".

Namun dengan naiknya harga BBM terjadi fenomena aneh (menurut saya). Sebelumnya saya sangat jarang melihat ada yang membeli pertamax, tapi sekarang dengan selisih yang tidak begitu jauh, semakin banyak pengendara motor yang memilih membeli pertamax. Hal ini juga sepertinya berdampak pada keuntungan menjadi "pelangsir", sehingga antrean bensin tidak sepanjang dulu. Karena itu sekarang saya lebih sering membeli bensin di SPBU seharga 8.500 rupiah. Kalau dihitung sebenarnya saya hanya mengalami peningkatan harga 500 rupiah per liter.

Tapi ada juga kekhawatiran saya dengan harga bensin ini. Jika saya kebetulan bertugas di Kabupaten harga bensin entah akan jadi berapa. Dulu sewaktu harga masih 6.500 harga di sana sudah mencapai 9.000 rupiah. Memang pembangunan belum merata di Indonesia.

Kalau seandainya pemerintah memang memenuhi janjinya, mengurangi subsidi BBM untuk dialihkan ke pembangunan infrastruktur bisa jadi harga BBM di sana mengikuti harga pemerintah yaitu 8.500 (lumayan kan lebih hemat lagi). Jadi kesenjangan pembangunan yang saya rasakan selama ini (perbedaan jawa dan luar jawa) sedikit banyak mengalami perbaikan.

Himbauan menyajikan singkong, jagung, dkk.

Suatu hari saya mendapat screenshot surat edaran di sebuah instansi pemerintah. Isinya, menindak lanjuti edaran Menpan untuk lebih menggunakan bahan pangan lokal sebagai sajian dalam rapat atau pertemuan. Tidak lagi kita melihat beragam roti dan jajanan yang sebelumnya biasa tersedia, tergantikan oleh jagung, singkong, dan mungkin sukun. Meski saya penggemar segala jenis roti dan olahan gandum lainnya, saya mendukung kebijakan ini.

Katakanlah saya sudah terdoktri, bukan oleh Jokowi tapi oleh "lawannya" almarhum Prof Suhardi (ketum gerindra). Yang saya tahu salah satu sasaran beliau adalah penguatan petani lokal. Produk dari petani lokal ya tidak jauh dari jagung, beras, singkong, dan kawan-kawannya. Jika kita menggunakan roti dan produk olahan gandum yang lain, maka yang mendapat keuntungan adalah petani penghasil gandum, dan petani Indonesia tidak memproduksi gandum (setahu saya). Indonesia mengimpor gandum paling banyak dari Australia (70,7 persen), disusul Kanada (14,9 persen), dan Amerika Serikat (11 persen). Indonesia juga mengimpor gandum dari India, Rusia, Pakistan, dan Turki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline