Lihat ke Halaman Asli

Cerita_Esa

Menulis dan membaca tidak membuatmu kaya sekejap, tapi yakini dapat membuat hidupmu beradap

Untuk Reni

Diperbarui: 10 Februari 2021   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku akan menikah di usia tiga puluh tahun atau tidak sama sekali."

Kalimat itu yang terngiang saat udah dalam bus. Menuju tempat tinggal Reni. Mini bus kelas ekonomi membuat suasana riuh, pengap, berhimpitan, sama seperti perasaanku. Setelah satu tahun lalu aku meninggakan kota kelahiran Reni, kami memang jarang bertemu. Kami tinggal di kota yang berbeda, menjadikan aku harus menempuh jarak sedikit jauh agar bisa menemuinya.

        Pagi ini sudah terlalu mendesak untuk menemuinya. Tidak seperti biasa. Seperti seorang sahabat yang akan bertemu setelah berpisah sekiah lama, bahagia kan? Tapi, apakah pagi ini aku tidak bahagia? Ah tentu saja bahagia, bagaimana tidak bahagia bertemu sahabat yang parasnya murah senyum dan terlihat kocak saat berbicara, ya meskipun sedikit cerewet. Cemas, perasaan selama perjalanan di dalam bus lebih tepatnya aku merasa cemas yang berlebih. Seburu-buru apapun niatku, bus kelas ekonomi ini masih seperti siput sekalipun kata sopir melaju dengan cepat.

        Untuk menemui Reni, aku harus mengantre waktunya. Dia mengajar di salah satu taman bermain terbaik di kotanya. Kamu tahu kan apa istilah dari sekolah terbaik? Tentu mempunyai jam mengajar dan kegiatan yang ketat, di mana dia tidak bisa seenaknya keluar di jam yang tidak ditentukan. Proses perizinan kepada pihak sekolah yang begitu formal, belum lagi mengurus administrasi yang bisa aku bilang amat sangat detail. Tentunya hal detail itu membutuhkan waktu yang banyak.

        " Ren, aku udah di perjalanan nih, kita enaknya ketemu di mana ya? Apa aku nunggu di rumah makan deket sekolahmu aja kali ya?"  Isi pesanku.

        Reni membacanya, tapi dia kelabakan. 10.30 WIB baru saja selesai mengajar, sedangkan 10.15 WIB aku sudah sampai Jalan Merpati, tempat yang kurang dari sepuluh menit lagi aku sampai. Dan aku memahami tidak sempatnya membalas pesanku karena kerepotannya menjadi pengajar. Seusia anak taman bermain harus menjadi pendamping yang maksimal, menunggunya sampai dijemput setelah belajar, merapikan administrasi, laporan harian kondisi kelas, masih untung dia tidak dapat jatah meyapu kelas.

        Ah wajar saja kalau pun nanti Reni telat. Benar saja, sebelum pukul 10.30 WIB aku sudah turun dari bus. Pikiranku disertai ling-lung yang entah dengan alasan apa aku langsung masuk di rumah makan Serba Pedas dekat Reni bekerja. Masuk rumah makan sendiri? Oh, sudah biasa bagiku, dan memang aku terbiasa menyelesaikan hal sendiri.

        "Selamat pagi kak, silakan bisa memilih menu dan meja nomor berapa?"

        "Saya di nomor 16 atas ya mbak. Menunya nanti aja nungguin teman." Mengambil daftar menu dan menuju ruang terbuka lantai atas. Ya, tempat itu menjadi favorit kami tepatnya satu tahun lagu. Sekiranya setelah satu tahun lalu Reni yang menumpahkan segala bebannya denganku. Gini giirannya dia yang harus menjadi aku pada saat itu.

        Setengah jam sudah, Reni belum juga tiba. Kamu tahu kan seseorang yang sedang resah dan menunggu. Dadamu pasti seolah sedang menahan racun sampai tenggorokan, dahi berkerut dan pandangan tak fokus.

        "La, maaf aku telat banget ya, tadi tuh super repot banget. Anak-anak rewel, teman sekantorku juga malah banyak yang minta tolong. Aduh capek banget. Tahu sendiri kan aku naik motor juga nggak bisa cepet, tadi tu........," ah, iyain aja Ren, cerewetnya tiba-tiba mengiang sebelum dia duduk. Tapi aku lega.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline