Lihat ke Halaman Asli

Mutiara Rizka Maulina

Pecinta dunia tulis menulis dan melamun

Karmin dan Rudi

Diperbarui: 4 Agustus 2021   14:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada jam istirahat makan siang, Karmin dan Rudi berjalan bersama ke luar kantor. Mereka melenggang ke arah sebuah warung makan nasi rames di ujung jalan, dekat dengan jembatan di Jalan Jendral Sudirman. Dua pemuda berusia 25 tahun tersebut, secara alami menjadi teman sejak bergabung dalam perusahaan yang sama. Setelah ratusan lamaran tanpa panggilan, dan ratusan wawancara lainnya yang tak berkelanjutan, Karmin dan Rudi akhirnya menjadi pegawai kantoran di sebuah perusahaan. Keduanya sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan.

Kaki kanan Karmin tidak berfungsi sebagaimana milik Rudi, sedangkan Rudi sendiri tidak bisa menggunakan tangan kirinya sebagaimana Karmin mengangkat tumpukan kardus di gudang dan mencatatnya dalam lembaran kertas perusahaan. 

Sejak pertemuan di lorong perusahaan, mereka telah menjadi satu kesatuan. Datang wawancara di tempat yang sama, dipanggil ke ruangan yang sama, dan sampai sekarang bekerjasama dalam berbagai hal. Keduanya diterima sebagai pegawai gudang, mengangkat barang, memindahkan barang, kemudian mencatat, dan juga melaporkan kepada atasan.

Selain beberapa persamaan itu, mereka juga memiliki perbedaan. Keduanya datang dari dua pulau yang berbeda untuk merantau di sebuah kota yang pernah jadi Ibukota Indonesia, Yogyakarta. Memiliki latar belakang dan budaya berbeda. Karmin sudah menjadi yatim sejak dalam kandungan. Orangtuanya mengalami kecelakaan yang membuat sang ayah meninggal, dan ibunya harus melahirkan anak dengan kebutuhan khusus. 

Setelah Karmin sudah cukup usia untuk mengurus dirinya sendiri, sang Ibu kawin lagi dan pergi bersama keluarga barunya. Meninggalkan Karmin yang akhirnya diusir dari rumah peninggalan sang ayah. Disinilah ia sekarang, berbagai beban pikiran dan perasaan bersama Rudi.

Orangtua Rudi keduanya masih ada di Sumatera, mengurus tiga orang adiknya yang lain. Semuanya perempuan dan dilahirkan dalam keadaan yang tak kurang suatu apapun. Lulus dari sekolah dasar, Rudi sudah diminta bekerja oleh orangtuanya, membantu memenuhi kebutuhan adiknya. Ia dilepas di pasar begitu saja, bekerja serabutan apa adanya, tak jarang juga berharap belas kasihan orang-orang. 

Diam-diam setiap malam, Rudi membaca buku-buku milik adiknya, bersekolah dengan pikirannya sendiri. Beruntung, adiknya ringan membantu, menjawab pertanyaan yang tak Rudi mengerti, atau menyampaikannya kepada guru di sekolah. Diam-diam juga dia menabung, mengikuti kejar paket hingga mendapatkan ijazah sekolah menengah.

Mimpi Rudi tak muluk-muluk, ia hanya ingin lulus SMA lalu merantau ke Jawa. Baik di TV atau di koran, Rudi melihat banyak orang sukses di Jawa, ada banyak pekerjaan ditawarkan di sana. 

Pembangunan ada dimana-mana, sehingga kuli bangunan pun juga laku dimana saja. Kali ini, ia tak diam-diam pergi ke Jawa. Dengan penuh khidmat meminta restu kepada ibunya untuk mencari peruntungan di pulau tetangga. Dan, begitulah awal mula perjalanan Rudi terlunta-lunta di jalanan, tidur di emperan masjid dan pertokoan, juga makan dari bekas sisa orang, hingga akhirnya bertemu Karmin, teman sebaya sepenanggungan.

"Mau makan siang apa Min kita hari ini?,"

"Alah gaya mu pakai tanya segala, kau kan tahu kita mampunya makan apa,"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline