Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Dua Cinta Tak Selaras

Diperbarui: 25 Desember 2018   21:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada air mata yang kian mengalir bagai derasnya sungai bermuara hingga ke ujung samudera. Dan setiap hembusan nafas yang berusaha mencoba menerobos kepulan asap namun tak pernah selaras.

Mengapa sayap-sayap kelabu itu senantiasa selalu memikat seekor gagak yang tak pernah tahu bagaimana hatinya berbicara dikala senja yang Ia lewati. Dan, mengapa kau kerap kali menerkamku seperti lalat terjerat jaring laba-laba yang teranyam kuat pada ranting pohon mahoni.

Pada kenyataannya, aku hanyalah seekor serigala kehilangan taring dan mata yang menyala-nyala bagai lampu pijar pengganti sang rembulan di setiap rumah-rumah yang sudah kau singgahi. Tak sadarkah, bahkan daun-daun berguguranpun ikut menertawakan atas ketaktahuanku pada setiap hati yang sempat kau tanami benih-benih kebahagiaan.

Aku ini sudah dibuatmu menjelma menjadi sebuah patung batu yang tak pernah sempurna dalam setiap pahatannya. Bahkan, hatipun tak pernah pemahat itu berikan pada dada yang dipahatkan membidang pada keduanya.

Lalu, sebuah lukisan yang tak seindah karya alam ini mengapa masih pula kau tatap dengan sepasang bola mata yang gemerlapan diantara gugusan semesta terbungkus alis lentik hingga tersungkur setiap komet yang acap kali lalu-lalang pada matamu.

Di depan rumahmu, aku larut dan melebur dalam emosi yang tak pantas aku hadirkan untukmu. Sebuah dekapan dari seluruh raga yang sempat menjadi pengharapan, runtuh dalam gejolak jiwa. 

"Pria itu yang kau dekap, mengapa pula kehangatan itu menyelimutiku hingga membuatku mendidih seperti air yang dipanaskan lava dalam kuali?" Bisikku dalam hati.

Dan, kamu masih saja diam membisu ditengah-tengah keramaian bayang-bayang, selalu mencemooh hal duniawi dan menciptakan keraguan akan dosa yang kelak akan dikembalikan ke asalnya.

Lalu, siapa yang pada akhirnya mendapat akhir bahagia? Yang jelas bukan kita yang menciptakan sebuah cinta dari kebohongan setiap kata yang terucap kala pertama kali berjumpa. Cobalah tatap langit dan jadikan cermin jika luasnya samudera sudah tak mampu menjadi cermin dalam mengenali kealfaan.

Aku tersadar dalam keterlambatanku. Menjadikan manusia hanya sebagai pejalan kaki dalam takdir yang tak bisa Ia raba-raba sebelumnya dan kusadari bahwa cinta tak semestinya bersemi pada bunga yang tertanam liar di pekarangan rumah.

Kita adalah dua cinta yang tak selaras. Berjalan pada dua rel kereta yang beriringan, namun akan selalu terpisah pada haluannya. Jika, dipaksakan pada rel yang sama hanya akan membuat kita bertubrukan hingga menjadi kepingan yang tak akan lagi utuh sempurna.

Dan untukmu, bersoleklah sedemikian rupa hingga kau tak tahu lagi sampai dimana ragamu mampu menepis luka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline