Lihat ke Halaman Asli

Harmoni “Sang Penakluk Ombak”

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Bukan Resensi

Baru satu bab mengkhatamkan “Sang Penakluk Ombak,” novel yang ditulis oleh Pak Boy (Pradana Boy ZTF) hatiku tergelitik untuk menulis juga. Mungkin karena setting cerita yang membuatku berkelana ke belantara masa lalu. Ya, bab pertama dalam novel ini mengingatkanku pada sebuah desa yang menjadi saksi pecahnya tangisan pertamaku dan perjalanan hidupku selama satu setengah dekade. Kondisi geografis desa Banjar melati yang menjadi setting cerita dalam novel ini tak jauh berbeda dengan kondisi desaku, sebuah desa di  pesisir Malang selatan. Aku menjulukinya sebagai “Desa Penghasil Devisa” karena hampir seluruh pemuda dan pemudi usia produktif memilih jalan menjadi pahlawan penghasil devisa. Setidaknya  menurut pengamatanku begitu.

Ingatanku akan masa lalu tersulut manakala bibir ini mengeja sebentuk kata yang tak lain adalah nama buah yang memiliki nilai history bagiku, yaitu “DUWET” atau kalau di Malang ada juga yang menyebutnya juwet.

Mungkin, kebanyakan orang berpendapat bahwa tidak ada yang istimewa dengan buah ini, bahkan sebagian besar orang kota tidak mengenalnya. Tapi bagiku buah ini sangat istimewa karena  mengingatkanku pada keceriaan anak-anak desa yang belum mengenal dunia dengan segala carut-marutnya. Adalah kebiasaanku dan teman-teman sebayaku ketika musim juwet, kami beramai-ramai “memanen juwet orang.” Di desaku, Juwet bukanlah buah yang memiliki nilai komersil, jadi pemilik pohon juwet tidak pernah keberatan asalkan tidak mengotori halaman. Tapi bukan di situ letak masalahnya, melainkan pada tekstur buahnya yang lunak dan berwarna merah keunguan seperti anggur. Tak ayal tangan, lidah dan baju seragam  sekolah kami jadi belepotan warna ungu hingga kami harus mengarang seribu satu cerita agar tidak kena seruduk tanduk para orang tua di rumah ( '^_^ ' ). Beruntung aku tinggal bersama nenek, dimana-mana yang namanya nenek selalu lebih mudah dikelabuhi ( "^_^’' ).

Ah, aku rindu desa itu, desa penghasil devisa yang tergilas arus pembangunan. Kontradiktif memang. Desa yang terus berdenyut dengan nadi kesahajaannya, desa yang seolah-olah tak pernah peduli meski di anggap tidak ada oleh para penguasanya. Ya, desa ini telah berpindah menjadi bagian dari kecamatan Gedangan meskipun secara geografis lebih dekat dengan kecamatan Bantur. Desa yang menjadi tidak penting diantara kepentingan-kepentingan para pejabat level c***t. Desa yang seolah-olah miskin, padahal menurutku kaya dengan berbagai potensi. Melihat desa ini tak ubahnya melihat miniatur Indonesia (*mulai deh alay…).

Sudahlah, membahas masalah begini, otak menjadi buntu. Lebih baik aku teruskan saja baca novelnya ^_^.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline